Dalam diskusi di kelas Bunsay Gabungan 2 beberapa hari lalu, ada seorang Bunda yang mengatakan tentang urgensi memahami fitrah diri sendiri sebelum memahami fitrah anak.
Selama ini fokus pembahasan adalah bagaimana kita membangkitkan, merawat, memelihara, dan menjaga fitrah anak. Selalu pusat atensi kita adalah anak-anak dan anak.. padahal sesungguhnya fitrah diri kita sendiri pun amat penting.
Bagaimana kita ingin benar-benar mengurusi fitrah anak kita secara benar, jika fitrah diri kita sendiri saja belum tentu benar? Maka dari itu dalam rangka memahami fitrah diri ini, saya membaca buku Sa’id Hawwa yang berjudul “Tazkiyyatun Nafs” (Pensucian Jiwa). Kebetulan buku ini menjadi salah satu target buku yang ingin saya selesaikan untuk dibaca selama Bulan Ramadhan ini.
Mungkin saya tidak akan mengulas secara keseluruhan dari isi buku ini, karena buku ini terdiri dari 4 bagian yaitu terkait adab guru dan murid, ibadah dan amal perbuatan, hakikat tazkiyyatun nafs, serta mengendalikan lisan dan adab berbagai hubungan.
Buku ini merupakan intisari dari kitab Ihya' Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Pada zamannya, Imam al-Ghazali menghadapi situasi dimana kemiskinan spiritual dialami oleh para muslimin dan muslimat. Sehingga pada zaman tersebut umat Islam banyak mengalami kemunduran di dalam berbagai bidang kehidupan.
Saya hanya akan merangkum beberapa poin penting di bagian mukadimah. Semoga dengan rangkuman super singkat ini, kita bisa memahami fitrah diri kita sehingga kita dapat secara benar menjaga fitrah anak dan keluarga kita insyaAllah.
Kenapa buku ini dipilih? Saya ingat di dalam buku Dr. Ary Ginanjar (ESQ 165) dikatakan bahwa di dalam diri setiap manusia ada satu titik fitrah yang selalu ingin menuju kepada Tuhan Sang Penciptanya. Maka saya berpikir bahwa jika titik fitrah ini benar, maka fitrah-fitrah yang lain insyaAllah akan terbawa benar juga. Karena landasan fitrahnya dikuatkan dulu.
Buku Tazkiyyatun Nafs karya Sa’id Hawwa dibuka dengan meng-highlight beberapa ayat di dalam Al-Quran yang menggambarkan pentingnya ikhtiar di dalam tazkiyyatun nafs. Misalnya pada tiga ayat berikut ini.
"Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikankamu dan mengajarkan al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa
yang belum kamu ketahui. " (al-Baqarah: 151)
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (asy-Syams: 9-10)
Dari ketiga ayat di atas, dapat kita simpulkan bahwa mensucikan jiwa merupakan sesuatu yang sangat penting di dalam kehidupan seorang manusia. Mengapa? Karena jiwa yang bersih akan menghasilkan perilaku dan akhlak yang yang bersih pula. Maka jiwalah yang menentukan suatu perbuatan itu baik atau buruk.
Lalu apa Tazkiyatun Nafs itu?
“Tazkiyah secara etimologis punya dua makna: Penyucian dan
pertumbuhan. Demikian pula maknanya secara istilah. Zakatun-nafsi artinya penyucian (tathahhur) jiwa dari segala penyakit dan cacat, merealisasikan (tahaqquq) berbagai maqam padanya, dan menjadikan asma' dan shifat sebagai akhlaqnya (takhalluq).”
“Makna tazkiyatun-nafs secara istilah adalah penyucian jiwa dari segala penyakit dan cacat, merealisasikan berbagai maqam kepadanya, dan menjadikan asma' dan shifat sebagai akhlaqnya.”
Sa’id Hawwa menjelaskan bahwa jika dapat menjadi suci apabila kita melakukan berbagai ibadah dengan sesempurna mungkin yang dapat kita kerjakan. Ibadah tersebut diantaranya adalah shalat, infaq, puasa, haji, dzikir, dzikrul maut (mengingat kematian) dan tilawah al-Qur'an.
Hasil yang paling nyata dari jiwa yang tersucikan ialah adab dan mu'amalah yang baik kepada Allah (hablumminallah) dan manusia (hablumminannas). Artinya jiwa yang bersih ini akan memperbaiki hubungan kita tidak hanya secara vertikal kepada Allah, tetapi juga hubungan secara horizontal kepada manusia dan semua makhluk-Nya.
Hubungan baik kepada Allah terealisasi melalui pelaksanaan hak-hak-Nya. Termasuk di dalamnya mengorbankan jiwa dalam rangka jihad di jalan-Nya. Dan hak Allah ini merupakan hak yang paling utama di atas hak-hak apapun yang ada di dunia ini. Jadi, hak asasi manusia itu dibatasi oleh hak Allah. Dahulukan dulu di dalam penunaian hak Allah atas diri kita (kewajiban asasi) barulah hak manusia. Sedangkan hubungan baik kepada manusia terealisasi dengan akhlak dan adab sesuai dengan ajaran Islam.
Maka di antara pengaruh dari tazkiyyatun nafs yang benar ialah terealisisasinya tauhid, ikhlas, shabar, syukur, cemas, harap, santun, jujur kepada Allah dan cinta kepada-Nya di dalam hati. Selain itu, tazkiyyatun nafs pun akan menghindarkan diri kita dari hal-hal yang bertentangan dengan semua hal tersebut seperti riya', 'ujub, ghurur, marah karena nafsu atau karena syetan.
Dengan demikian jiwa menjadi tersucikan lalu hasil-hasilnya nampak pada terkendalikannya anggota badan sesuai peritah Allah dalam berhubungan dengan keluarga, tetangga, masyarakat dan manusia.
Maka sangat relevan sekali sebuah hadist Rasulullah SAW yang artinya,
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Artinya kondisi hati dan jiwa di dalam diri kita akan sangat memengaruhi keseluruhan diri kita sendiri. Bagaimana kita bersikap, berbuat, beramal solih, berkontribusi.. itu semua sangat bergantung pada kondisi hati dan jiwa kita.
Seperti perkaatan terkenal dari Imam al-Ghazali “What comes from the heart goes to the heart” (apa yang berasal dari hati akan diterima oleh hati). Maksudnya jika kita memang benar-benar bersungguh-sungguh berkata-kata yang berasal dari hati akan juga diterima secara baik oleh hati yang mendengarnya. Indah ya..
Saya jadi ingat pengalaman pribadi saya sendiri bagaimana kondisi hati yang dijaga oleh ibadah-ibadah saya pada malam hingga pagi harinya akan berdampak pada bagaimana saya merespon apapun, termasuk perilaku anak dan pasangan.
Jika saya solat malam dengan baik, berkhalwat dan bermunajat kepada Allah dengan menghadirkan hati yang sesungguhnya.. kemudian membaca kalam-Nya disertai dengan pemahaman maknanya.. rasanya seperti dicharge kembali energi dan ruh saya, sehingga saya dapat bersikap lebih sabar dan syukur atas segalanya. Saya jadi lebih sabar ke Afifa dan suami. Saya jadi lebih bersyukur dan bisa mengambil semua sisi positif dari berbagai hal-hal yang mungkin bisa bikin saya kesal kalau energi saya gak dicharge dengan baik.
Afifa berantakin rumah, alhamdulillah saya bersyukur karena artinya ia sehat dan potensi energinya luar biasa karena anak sekecil itu bisa memindahkan banyak barang di rumah. Hehehhe..
Afifa nangis karena hal sepele, alhamdulillah saya juga bersyukur artinya ia adalah manusia normal yang bisa mengekspresikan perasaannya termasuk perasaan sedih dan kecewanya.
Afifa minta dibacakan buku berulang kali, atau gak mau ditinggal sedikit dan sebentar pun sampai saya susah untuk mengerjakan hal lain pun saya syukuri karena artinya ia memiliki bonding yang kuat dengan saya.. terlihat ia sayang dan cinta sama saya. Iya kan? Hehehe..
Afifa mulai banyak alesan kalau saya bilang A alias enggak langsung nurut.. itu pun harus disyukuri karena artinya ia punya potensi untuk mempertahankan apa yang menjadi pendapatnya. Hehehe.. Daaaan.. masih banyak lagi yang bisa disyukuri.
Itu semua bisa relatif lebih mudah dijalankan saat saya memang menjaga hubungan saya dengan Allah SWT. Makanya kalau saya merasa sedang banyak emosi, sumbu pendek, senggol kepret mode on... saya evaluasi lagi ibadah saya. Sudah dilakukankah? Sudah berkualitaskah? Apa yang terlewat? Karena insyaAllah dengan kita memperbaiki sarana-sarana tazkiyyatun nafs tsb, maka Allah akan membereskan pula urusan kita di dalam hal apapun, termasuk menjaga fitrah anak kita. InsyaAllah.
Mari kita jadikan momentum bulan Ramadhan ini sebagai latihan diri kita untuk ber-tazkiyyatun-nafs, agar fitrah diri kita dapat terjaga. Dengan terjaganya fitrah diri kita, insyaAllah kita akan mampu menjaga fitrah anak-anak kita kelak. Aamiin.. :”)
#Level11
#KuliahBunsayIIP
#Tantangan10Hari
#FitrahSeksualitasAnak
#LearningbyTeaching
#Review15
No comments:
Post a Comment