Kemarin merupakan giliran kelompok kami yaitu Group 5 yang
mempresentasikan hasil diskusi kami dengan tema "Bagaimana Fitrah Seksualitas Anak
Menurut Pandangan Islam?".
Tema ini diangkat karena berawal dari kekhawatiran kami akan berbagai tantangan dari dimensi fitrah seksualitas dihadapi oleh generasi saat ini.
Sebut saja masalah LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual,
Transgender and Queer), paham liberal terkait kesetaraan gender, sampai bombardir virus pornografi dan pornoaksi
yang tersedia di berbagai media
online maupun offline
yang sangat merusak kehidupan bangsa.
Kami melihat bahwa salah satu akar permasalahannya adalah
kurangnya pemahaman dan aplikasi nilai-nilai agama di dalam kehidupan
sehari-hari, baik pada orang tua, anak, masyarakat hingga tataran bangsa yang
lebih luas.
Apalagi tantangan-tantangan tersebut memang sengaja di-design sedemikian rapi dan terstruktur
oleh pihak-pihak tertentu sehingga semua permasalahan terkait seksualitas anak
menjadi sebuah gerakan massif yang diterima menjadi sebuah lifestyle.
Naudzubillah…
Saya tidak akan lebih panjang membahas apa yang kami
presentasikan, karena biarlah kelompok lain yang mereview apa yang kami bahas.
Tapi yang akan saya bahas sekarang adalah tentang pertemuan saya dengan Mba
Wina Risman hari ini, Rabu 23 Mei 2018 bersama teman-teman dari IP Asia team
Malaysia.
Alhamdulillah silaturahim berjalan dengan lancar. Setelah kami
saling memperkenalkan diri masing-masing (kecuali saya yang memang sudah kenal
dekat dengan Mba Wina), percakapan pun menjadi lebih menarik dan lebih serius.
Satu hal yang kami bahas adalah terkait kecanduan pornografi dan
bahkan pornoaksi pada anak yang telah menjadi sebuah wabah yang telah memakan
banyak korban generasi anak kita… Mba Wina memaparkan bahwa kecanduan pada
pornografi dan pornoaksi diawali dari kelalaian kita sebagai orang tua di dalam
memantau anak kita dengan baik dan benar. Kita lalai dengan siapa anak kita
bergaul. Kita lalai di dalam memfasilitasi gadget
tanpa ada pemantauan yang tepat. Kita lalai di dalam mengajarkan nilai-nilai
agama pada anak kita. Dan kita lalai di dalam menerima kenyataan bahwa mungkin
kesalahan utama adalah pada diri kita sebagai orang tua. Akhirnya saat anak
sudah rusak, yang ada orang tua malah lari dari kenyataan dengan
meng-sub-ordinate-kan tugas utama di dalam mendidik anak ke lembaga-lembaga
pendidikan semata. Padahal basis utama pendidikan anak adalah orang tua.
Mba Wina bercerita bahwa mungkin relatif lebih mudah membiasakan
ibadah fisik pada anak, seperti pembiasaan solat, mengaji, dan bahkan puasa
pada anak-anak kita. Tapi yang lebih susah dan tentunya lebih penting adalah
bagaimana menanamkan ketauhidan yang benar kepada anak. Misalnya adalah
kesadaran bahwa ada yang senantiasa mengawasi dan melihat gerak gerik kita
yaitu Allah SWT. Orang tua boleh saja luput dalam melihat anak, tapi ada Allah
yang senantiasa mengawasi. Jika kesadaran tersebut sudah ditanamkan dari kecil,
maka anak akan memiliki self-defense
(pertahanan diri) dan self-filter
(penyaring diri) jika ada godaan-godaan mendatangi diri anak.
Mba Wina pun menjelaskan bahwa begitu banyak hal-hal yang sengaja
dibuat untuk merusak anak, yang telah dilakukan risetnya selama 15 tahun oleh
pihak-pihak tidak bertanggung jawab tersebut. Sebut saja iklan game (mohon
maaf) warrior sexy dari Cina yang tiba-tiba pop up di layar video online dengan
kata-kata “Try Me”. Disitu anak diminta untuk membuka baju sang warrior, atau
hanya sekedar menyentuh (mohon maaf) buah dada dan bokong miliknya.. hiks
naudzubillah… Belum lagi video kartun berkedok “Elsa Frozen dan Spiderman” yang
ternyata memang benar-benar mempraktekan kehidupan suami dan istri. Ya Allah…
Mba Wina berkata bahwa saat sudah teradiksi terhadap pornografi
dan pornoaksi, anak harus ditangani secara khusus. Mba Wina bercerita bahwa
Yayasan Buah Hati bekerja sama dengan pemerintah melakukan terapi gratis untuk
orang-orang yang sudah adiktif dan mereka tidak sanggup lagi keluar dari jerat
pornografi dan pornoaksi. Ada 16 sesi dimana per sesi sang pasien harus
didampingi 24 jam oleh pendamping dari keluarganya yang benar-benar membantunya
keluar dari jerat tersebut. Dan ini merupakan proses terapi yang sangat melelahkan.
Jadi… artinya, jika sudah terjerat, untuk merehabilitasinya akan
susah dan berat. Maka lebih baik melindungi anak-anak kita dari bahaya
pornografi dan pornoaksi tersebut.
Lalu bagaimana jika anak sudah terpapar video-video porno?
Pertama, selidiki hingga sejauh mana anak sudah menonton. Berapa
kali ia menonton? Video apa saja yang dia tonton? Langkah ini penting untuk
melihat kadar keparahan anak kita dalam terpapar hal tersebut. Tentu cara
menyelidikinya dengan baik. Misalnya anak lelaki diajak safar (melakukan
perjalananan) dengan Ayahnya berdua saja. Bangun bonding, tanyakan secara
baik-baik hingga anak percaya dan mau terbuka pada kita. Jangan sampai ada
pertahanan anak yang tidak mau terbuka pada orang tua.
Kedua, usahakan keluarkan anak dari lingkungan yang bisa
membuatnya terpapar video-video tersebut. Misalnya jika disinyalir tetangganya
yang mengenalkan sang anak pada video porno tersebut, maka ajaklah untuk meminta
maaf pada tetatangganya untuk tidak bermain dulu karena ada kesibukan lain.
Atau jika anak terpapar sendiri lewat handphone dan internet kepunyaannya, maka
jangan fasilitasi dulu mereka dengan kedua hal itu. InsyaAllah, technology can wait but children can’t.
Intinya diperlukan peran aktif semua pihak agar anak-anak kita
terlindungi dari bahaya candu pornografi dan pornoaksi. Mulai dari orang tua,
anak, dan lingkungan. Ayo kita jaga anak-anak kita dari hal-hal yang merusak
tersebut.
Jazakillah khair ka wina atas waktu dan ilmunya. Semoga berkah.. Dan semoga rencana kolaborasi kita ke depan dapat terealisasikan. Aamiin :)
#Tantangan10Hari
#KelasBunsayIIP
#Level11
#LearningbyTeaching
#FitrahSeksualitasAnak
No comments:
Post a Comment