Friday 9 June 2017

Tantangan Komunikasi Produktif Kelas Bunda Sayang IIP : Day 10 "Laki-Laki dan Perempuan"

Gak kerasa tantangan level 1 dari kelas Bunda Sayang Institut Ibu Profesional tentang Komunikasi Produktif sudah mencapai hari ke-10. Alhamdulillah jika dievaluasi, hanya 3 poin dari komunikasi produktif dengan pasangan yang saya praktekan secara langsung yaitu kaidah 2C (clear and clarify), kaidah 7-38-55, dan kadiah "choose the right time".

Mungkin secara jujur, saya belum bisa full konsisten dalam menerapkan kaidah-kaidah tersebut. Tapi minimal jika saya melakukan kesalahan dalam berkomunikasi dengan Pak Suami, saya segera tau apa salah saya dan kemudian mengetahui apa yang "seharusnya" saya perbaiki. 

Bagaimanapun di sebagian kasus, pasangan kita (dan anak-anak kita tentu saja) adalah orang-orang yang paling banyak membersamai kita secara fisik. Sehingga wajar jika seringkali kita melakukan kesalahan dalam berkomunikasi dengan mereka. Tapi seseorang yang cerdas adalah mereka yang segera sadar akan kesalahan tersebut dan berusaha untuk tetap memperbaiki diri kita :")

Ada sebuah video dari Ust. Salim A. Fillah yang bagus yang menjelaskan tentang betapa banyaknya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Video ini saya dapatkan dari whatsapp group dan telah saya share kepada suami saya. Silahkan dilihat video di bawah ini :)



Video Ust. Salim A. Fillah

Di dalam video itu, Ust. Salim menjelaskan bahwa salah satu perbedaan yang mencolok adalah dari sisi kemampuan linguistik. Dalam hal ini, perempuan lebih cerdas secara linguistik dibandingkan dengan laki-laki. Studi menjelaskan bahwa di dalam sehari jika secara rata-rata laki-laki berbicara 5000-7000 per hari, sedangkan perempuan  24000-50000 per hari. Luar biasa! Dengan kata lain, perempuan lebih cerewet πŸ˜‚

Ya kejadian pula pada saya dan suami. Saat saya WA beliau panjang kali lebar kali tinggi alias banyak banget kalimatnya cuma dibales "Oke  yang." Dua kata aja, titik ga pake koma πŸ˜‚ 

Contoh Percakapan di WA (Pas LDM-an kemarin) :D


Atau pas di perjalanan pulang ke rumah, ada kalanya saya ngomong ke sana kemari, terus hanya dijawab, "Iya." Saat saya tanya, "Sekarang giliran ayang donk ngomong. Kasih tausyiah ke.. atau kasih kata-kata penyemangat hidup ke.." Jawabnya, "Aku lagi fokus nyetir dulu yang." πŸ˜… *Garuk tembok

Perbedaan kedua, kalau laki-laki biasanya to the point, perempuan cenderung lebih senang menggunakan kalimat tidak langsung alias kode-kodean. Ini mah gw bingitsπŸ˜‚  Masih inget kan tantangan hari ke-9 saya kemarin? FYI suami jadinya buka shaum di rumah. Ga tau kenapa, padahal udah saya bolehin lho. Hehehe..

Kadang cuma mau bilang "Aku capek.." aja mesti bilang "Yang disertasi aku belum ada progress berarti. Terus aku belum selesai tugas yang lainnya juga. Paper juga belum sempet dibuat. Afifa belum aku mandiin. Bla bla bla.." πŸ˜‚ Ya kadang suami bisa nangkep maksudnya apa, kadang juga engga. Jadi memang sebaiknya 3 poin dalam komunikasi produktif pun harus diaplikasikan. 

Begitulah.. Alhamdulillah setelah ikut kelas Bunsay materi pertama ini, saya jadi lebih tau lagi tentang komunikasi yang efektif. Tapi tentu saja tantangan 10 hari ini lebih memotivasi saya untuk mempraktekan ilmu tersebut. Meski belum sempurna, saya harus lebih semangat lagi dalam mengaplikasikan ilmu ini :")

Terakhir saya mau menutup kisah dalam Tantangan 10 hari level 1 kelas Bunsay dengan sebuah quote dari Ust. Nouman Ali Khan: "Knowlegde is easy, but acting on that knowledge is wisdom."

Sumber: spreadsalam.com (diambil dari FB teh Qisthisna Aulia)


Tetap semangat :")


#level1
#day10
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Thursday 8 June 2017

Tantangan Komunikasi Produktif Kelas Bunda Sayang IIP : Day 9 "(Harus) Konsisten"

Komunikasi produktif bersama pasangan merupakan tantangan aplikasi setiap saat, mulai dari hal-hal kecil hingga hal-hal besar. Dan antara poin satu dengan poin dengan poin lainnya saling berkesinambungan satu sama lain. Misalnya poin 2C (Clear and Clarify), tentu saja sangat erat kaitannya dengan kaidah 7-38-55. Dan agar pesannya tersampaikan secara sempurna pun kita harus pintar-pintar mencari waktu yang tepat alias "choose the right time".

Terkadang ada kalanya saya sudah merasa "sukses" di dalam mempraktikan poin-poin tersebut. Tapi kemudian ada aja ujian apakah kita konsisten menerapkan apa yang telah saya pelajari. 

Misalnya sore itu suami bilang bahwa besok suami akan berbuka shaum dengan teman-temannya di kampus. Entah kenapa saat itu saya merasa sedih. Udah mah kami tinggal bertiga doank, buka shaum juga bertiga aja, eh ini mau ditinggal juga buka shaum sama suami. FYI, beberapa hari sebelumnya pun suami sudah buka shaum juga dengan teman-temannya yang lain. Rasanya hampaaa saat suami ga ada.. *ciyee *agresif :P

Tapi ada rasa gengsi dalam diri saya untuk sekedar bilang, "Kalau buka shaumnya ajak aku dan Afifa gimana?" Entah kenapa saya berharap suami memahami bahwa bagaimanapun buka shaum bersama saya dan Afifa seharusnya menjadi prioritas utama. Kalau pun dia ada agenda buka shaum dengan teman-temannya kenapa ga berusaha untuk melibatkan saya dan Afifa juga? Toh saya tau agenda buka shaum ini bukan hanya untuk yang laki-laki. Ada teman-teman perempuan juga yang akan hadir. Saya ingin suami paham sendiri. Itu pikiran saya saat itu.

Karena gengsi akhirnya saya bilang, "Oke boleh. Tapi aku juga besok mau ajak Afifa ya makan di Nando's (salah satu nama resto favorit saya di KL). Nanti ayang buka shaum sama temen-temen, aku juga ada agenda sendiri.." ini nih kalimat tidak langsung yang ga logis.

Pertama, kebayang kan pergi berdua aja dengan Afifa dari sore sampai malem? Ya meski di mall, tetep aja kan cuma berdua, saya juga akan merasa kerepotan misalnya Afifa pingin turun dari stroller kemudian dia lari-lari.. Gimana ceritanya coba?

Kedua, ngapain juga out of nowhere mau makan di Nando's padahal saya dan suami sedang melakukan penghematan. Dan suami paham betul akan hal itu πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚ 

Akhirnya suami bilang, "Ya udah aku ga jadi aja besok perginya.."
Yaaaa... Iiihhh kesel banget kenapa sih ga paham kalau saya bukannya melarang, tapi saya ingin dilibatkan.  Kok ga paham sih.. 

Ini akibat dari gengsi. Ini akibat dari kalimat tidak langsung. Ini akibat dari kode-kodean. Ini akibat ga praktekin materi kelas Bunsay. Ini akibat ga praktekin poin komprod metode 2C. *dadah-dadah ke Bunda Fasil Hehehehhehe..

Akhirnya saya terdiam. Ya sudah tenangkan diri dulu. Saya mulai tilawah. Saat itu jam 5.30 sore. Suami sibuk sendiri di dapur. Eh ternyata doi masak untuk makanan buka (maghrib jam 7.30). Ya ampun saya lupa belum masakπŸ˜‚πŸ˜… Suami lagi goreng tempe dan bikin telur teri balado plus sebelumnya masak nasi. Untuk takjil dia siapkan bubur kacang ijo. Belum lagi dia pun potong-potong sayur kangkung buat ditumis. Saya jadi malu sendiri.. akhirnya saya take over lah dapur (setelah sebelumnya saya diem-diem foto dia lagi masak). Saya masak tumis kangkungnya. Lalu saya pun memanaskan pepes ikan mas kesukaan Afifa dan suami. 

Pak Suami yang sedang masak

Menu buka shaum

Bubur Kacang Ijo buatan Pak Suami


Akhirnya saat berbuka puasa pun tiba. Saat saya mencicipi masakan suami, saya langsung senyum. "Enaaaak..." kata saya. hehehe.. suami pun tersenyum. langsung deh cair lagi suasananya. 

Akhirnya setelah kontemplasi, saya sadar bahwa sikap saya kekanak-kanakan banget dalam merespon permintaan izin suami tersebut. Toh kalau dihitung-hitung baru sekali saja suami buka shaum di luar, besok baru yang kedua kalinya. Sisanya ya buka shaum bareng saya. Mungkin suami ga menawarkan untuk mengajak saya dan Afifa karena memang buka shaum tersebut khusus mahasiswa dari jurusan tersebut, ga ada yang dari luar jurusannya.

"Maafin aku yaa.. ayang boleh kok buka shaum sama temen-temen, aku sama Afifa di rumah aja ya.." kata saya akhirnya.

Hikmah di balik kejadian ini adalah saya harus lebih konsisten lagi di dalam mempraktikan poin-poin komunikasi produktif. Pokonya praktek, praktek, praktek.. konsisten, konsisten, konsisten :D jangan mengharapkan pasangan langsung paham kalau poin pembicaraan yang disampaikan pun ga langsung pada intinya. Hehehehe.. itu aja.

#level1
#day9
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Wednesday 7 June 2017

Tantangan Komunikasi Produktif Kelas Bunda Sayang IIP : Day 8 "Papa dan Afifa #2"

Salah satu kelebihan dari Pak Suami yang amat saya syukuri adalah keterlibatannya secara aktif di dalam menjaga, merawat serta mendidik Afifa. Jika di-flashback kembali, keterlibatannya sangat terasa dari sejak saya hamil Afifa, melahirkan Afifa dan kemudian membesarkannya.

Saya ingat selama hamil, saat check up kehamilan saya selalunya suami yang mengantar saya. Tidak pernah ia membiarkan saya untuk menemui dokter kandungan sendirian.

Saat saya melahirkan, suamilah yang menunggui saya hingga pembukaan full dan membersamai saya saat proses melahirkan tersebut. Beliau yang mengumandangkan adzan dan iqamah pertama kali di telinga kanan dan kiri Afifa. Beliau pula yang mentahnik Afifa.

Saat Afifa masih newborn pun, suami pula yang menemani saya bergadang dan menyuapi saya makan malam. Saya meminta kepadanya agar tidak meninggalkan saya tidur ketika saya harus bangun malam. Dengan sabar dan telaten ia pun menunggui saya hingga Afifa tertidur lagi. Padahal ba'da subuhnya suami pun harus berangkat ke sekolah untuk mengajar.

Saat Afifa usia 1 tahun, saya harus memulai aktivitas mengajar mahasiswa S1 di IIUM, kuliah dua kali seminggu plus tugas-tugasnya dan membantu project dosen, maka saya dan suami pun bergantian dalam menjaga Afifa di tengah-tengah kesibukan suami dalam mengajar dan juga mengerjakan thesisnya pada saat itu. Saya ingat, bagaimana suami saya training untuk menggantikan popok Afifa juga memandikannya. Dari awalnya jijik-jijik menjadi mahir :"D

Hingga sekarang pun suami terlibat aktif di dalam menjaga Afifa. Jika ada suami, Afifa benar-benar dijaga dengan amat baik dan telaten. Sepertinya sikap proteksionis suami terhadap Afifa lebih besar dibandingkan saya. Hehehe..

Saat ini suami libur mengajar hingga tanggal 12 Juni. Di tengah pressure saya dalam menulis disertasi, Saya pun memintanya untuk lebih intens lagi dalam membantu saya menjaga Afifa. Plus membantu membersihkan rumah. Hehehe.. Penerapan poin-poin dalam komunikasi produktif pun harus dilakukan agar sang penerima pesan dapat memahami apa yang kita maksudkan. Dalam hal ini, yang paling saya terapkan adalah metode 2C, dimana saya "to the point" dalam menyampaikan maksud saya dan memberikan kesempatan padanya untuk mengklarifikasi tentang permintaan saya.

Alhamdulillah suami benar-benar menjalankan request saya dengan sepenuh hati, tanpa banyak protes apalagi muka cemberut :") Memang dasarnya beliau adalah suami dan ayah yang sangat baik. Alhamdulillah.. semoga istiqamah yaa :")

Gambar ini diambil saat saya sedang mengerjakan hal lain, kemudian suami dengan telaten memotongkan semangka kesukaan Afifa :D

Papa dan Afifa


#level1
#day8
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Tuesday 6 June 2017

Tantangan Komunikasi Produktif Kelas Bunda Sayang IIP : Day 7 "Papa dan Afifa"

Selama bulan Desember 2016-April 2017 saya pulang ke Bogor dalam rangka melakukan penelitian disertasi saya di lima kota dan kabupaten. Sebanyak 1300 responden penerima zakat dari Baznas Kota dan Kabupaten tersebut saya survey dengan bantuan tim enumerator (yang kebanyakan mahasiswa) dari daerah tersebut.

Sebagai konsekuensi, saya dan suami harus menjalankan Long-Distance Marriage (LDM) alias hubungan pernikahan jarak jauh selama 4.5 bulan lamanya. Meskipun demikian, dalam kurun waktu 4.5 bulan tersebut, suami sempat pulang ke Bogor sebanyak 3 kali selama beberapa hari. Alhamdulillah..

Dengan kondisi LDM tersebut, tentu saja Afifa lebih banyak menghabiskan waktunya bersama saya. Untungnya adalah saat suami ke Bogor, Afifa enggak lupa dengan Papanya :D

Setelah ditelaah, memang yang ideal adalah antara suami istri jangan sampai berjauhan secara jarak jika memang dimungkinkan. Ini memang kondisi subjektif saya pribadi. Yang saya rasakan adalah saya lebih merasa kuat dan sabar untuk membersamai Afifa dan mendidiknya. Rasanya ada kekuatan lain yang mendorong saya saat merawat Afifa jika saya bersama dengan suami.

Pun dengan kondisi psikologis Afifa yang pasti membutuhkan kehadiran sosok seorang Ayah. Dan memang, Afifa dan Papanya sangaaat dekat hubungannya karena Papa Afifa banyaaaak sekali membantu saya di dalam menjaga dan merawat Afifa. Meskipun demikian, saat di Bogor, mama saya, papa saya dan kakak-kakak saya serta Bi Biah ikut membantu menjaga Afifa tentu saja. Saya amat bersyukur dan berterima kasih.. :") semoga Allah yang balas kebaikan keluarga saya tersebut :")

Ternyata Afifa sendiri memang begitu menyayangi Papanya. Ini terbukti saat pertama kali bertemu setelah 2 bulan berpisah dengan Papanya, Afifa super excited dan terlihat amaat bahagia. "Mah Afifa seneng (ketemu) Papa.." begitu katanya.

Terkait dengan komunikasi produktif yang efektif dengan pasangan, poin-poin kaidah 2C, kaidah 7-38-55 dan "choose the right time" pun harus diterapkan di saat kami bekerja sama dalam mendidik dan membesarkan Afifa. Kami bersepakat bahwa Afifa adalah salah satu prioritas utama di dalam kehidupan kami, sehingga semua aktivitas kami harus disesuaikan dengan prioritas kami terhadap Afifa.

Karena Papa Afifa selama dua minggu ini libur, alhamdulillah Papa Afifa bisa mengantar Afifa ke Educare, IIUM. Seperti biasa, sebelum Afifa masuk kelas, kami akan mencium pipi Afifa secara bersamaan dari kanan dan kiri untuk menunjukkan betapa kami mencintainya :") Saat pulang pun, kami menjemput Afifa, mencium kedua pipinya secara bersamaan, mengatakan kepadanya bahwa kami sangat saaayaaang padanya :")

Papa dan Afifa saat mengantar ke Educare, IIUM


Lalu malam harinya, Afifa meminta dibacakan cerita oleh Papanya. Dia sangat excited saat mendengarkan Papanya bercerita. Alhamdulillah :") Berikut video Papa dan Afifa tadi malam saat membaca buku berjudul "I Explore the Zoo". Meskipun terkadang tidak ideal, kami bersepakat untuk minim memberikan gadget kepada Afifa, sehingga kegiatan membaca buku merupakan salah satu kegiatan wajib harian bagi Afifa. Sekarang Afifa sangaaat hobi untuk minta dibacakan buku. Terkadang kami yang kewalahan, tapi ga apa-apa demi kebaikan Afifa kami lakukan :')

Papa dan Afifa


#level1
#day7
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Monday 5 June 2017

Tantangan Komunikasi Produktif Kelas Bunda Sayang IIP : Day 6 "Meminta Maaf"

Sedari kecil saya diajarkan oleh Papa saya untuk senantiasa membiasakan meminta maaf kepada orang-orang di lingkungan tempat kita berada, terutama jika terjadi kesalahpahaman atau adu argumen yang menciptakan ketidaknyamanan. Namanya hidup pasti penuh dengan warna. Misalnya saat dulu saya kecil melakukan kesalahan sehingga membuat Mama saya marah, Papa pun segera mendekati saya untuk mengatakan, "Ayo cium tangan ke Mama minta maaf." Kemudian beliau akan memantau saya dari kejauhan untuk memastikan apakah saya telah meminta maaf atau tidak.

Atau yang lucu, jika saya kecil membuat Papa saya marah, pada akhirnya Papa saya sendiri yang datang ke saya untuk sekedar bilang, "Ayo sekarang cium tangan Papa dan minta maaf sama Papa." 

Alhamdulillah dengan didikan seperti itu, budaya meminta maaf itu benar-benar tertanam dalam diri saya. Bahwa saya harus mau berbesar hati mengakui kesalahan, dan meminta maaf kepada pihak-pihak yang telah dibuat tidak nyaman.. :")

Pun ketika telah berumah tangga, dengan berbagai macam perbedaan watak, karakter, sifat, latar belakang, pola asuh, pemahaman, kebiasaan, dan lain sebagainya, tidak dapat dipungkiri terkadang ada moment-moment dimana saya dan suami pun beradu argumen atau tidak sependapat akan suatu hal yang sama. Kalau kata suami, "Ga apa-apa namanya juga hidup, anggap aja ini sebagai bumbu penyedapnya.." :")

Dengan fakta seperti itu, maka sikap mau berbesar hati untuk meminta maaf, terlepas dari siapa yang benar dan siapa yang salah, harus ditanamkan dalam diri masing-masing individu. Meski sang istri merasa suamilah yang salah, tetap saja istri harus berusaha memaafkan dan meminta maaf kepada suami. Sebaliknya, suami pun harus demikian. Karena meminta maaf sesungguhnya bukan menunjukkan siapa yang salah, tapi justru ia sejatinya menunjukkan kebesaran hati seseorang untuk membuat suatu hal dan sebuah kondisi menjadi lebih baik.

It takes two different people in a marriage life. So to make it works, marriage needs adjustments. Selama bukan masalah prinsipil seperti akidah, pernikahan menurut saya memerlukan penyesuaian-penyesuaian antara ekspektasi dengan realita. Maka dari itu, sikap-sikap mau mengakui kesalahan serta berbesar hati dalam meminta maaf dan memaafkan pasangan amatlah diperlukan.

Sebenarnya kita pun tidak perlu menunggu diri kita membuat kesalahan dulu baru meminta maaf kepada pasangan. Terkadang meminta maaf pun merupakan salah satu cara kita di dalam mengungkapkan perasaan cinta kita kepada pasangan kita. Kita meminta maaf atas kekurangan diri kita dan atas ketidaksempurnaan diri kita. Justru itu akan memperkuat rasa cinta dan rasa saling memiliki di antara pasangan. Iya ga sih? Apa saya sotoy ya :D

Dan agar maaf kita dapat tersampaikan dengan baik, kita pun harus cerdas di dalam memilih waktu yang tepat di dalam menyampaikannya. "Choose the right time" untuk ungkapkan permintaan maaf kita kepada pasangan. Yang terbaik adalah saat kondisi dimana kedua individu dalam keadaan tenang dan jauh dari emosi marah.

Salah satu moment yang biasanya saya manfaatkan untuk meminta maaf kepada suami adalah pada saat shalat berjamaah di rumah. Jika suami tidak pergi ke masjid karena sesuatu alasan, maka biasanya kami memanfaatkan waktu untuk shalat berjamaah bersama.

Seperti tarawih tadi malam. Entah kenapa Afifa menangis "kejer" saat suami akan berangkat ke masjid. Afifa merengek ingin ikut, sedangkan saya belum mempersiapkan mental Afifa untuk dibawa ke masjid untuk melaksanakan tarawih, karena tarawih di masjid dekat rumah agak lama. Selain itu kondisi Afifa yang sedang batuk pilek tidak memungkinkan untuk diajak karena udara malam. Sebagai informasi, Afifa sangat sensitif terhadap udara malam hari.

Salahnya suami adalah karena ia pergi tanpa pamitan. Saat Afifa sadar Papanya pergi tanpa pamit, menangislah ia. Suara tangisannya terdengar hingga beberapa meter dari luar rumah πŸ˜… Akhirnya suami kembali lagi ke rumah dan kami melaksanakan Shalat Tarawih berjamaah di rumah.

Setelah selesai berjamaah, moment tersebut saya manfaatkan untuk meminta maaf kepada suami atas berbagai kesalahan saya hari itu. Saya cium tangannya, saya minta maaf kepadanya. Kemudian suami pun memaafkan dan meminta maaf kepada saya juga atas kekurangannya. Kemudian ia pun mengecup kening saya. Tidak ketinggalan Afifa pun kami cium di pipi kanan-kirinya secara bersamaan agar energi cinta kami tersalurkan kepadanya. Kami pun tersenyum bahagia alhamdulillah :")

Selepas Tarawih


#level1
#day6
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Sunday 4 June 2017

Tantangan Komunikasi Produktif Kelas Bunda Sayang IIP : Day 5 "Curhat"

Sore ini kelompok halaqah (pengajian) saya dan teman saya diberikan amanah untuk menjadi panitia persantren Ramadhan dengan pesertanya adalah para TKW Indonesia di Malaysia yang berprofesi sebagai pekerja kilang (pabrik). Kami menyiapkan sebuah acara seminar dengan tema "Love your dien, get your dreams" dengan berbagai doorprize bagi para peserta dan games yang dapat mencairkan suasana. Pada intinya acara ini mengajak teman-teman TKW untuk berani bermimpi dan merealisasikan mimpi tersebut tapi dalam koridor yang diridhai oleh agama kita. Jadi bermimpi apapun boleh, tapi orientasi utamanya adalah untuk kehidupan akhirat.

Saya dan teman-teman panitia


Alhamdulillah secara garis umum acara persantren Ramadhan tadi berjalan lancar. Acara ditutup dengan muhasabah, ifthar jamai dan dinner bersama. Kami panitia pun menyiapkan berbagai macam makanan pembuka seperti es buah, kolak pisang dan kue-kue plus makanan inti yaitu nasi, lauk pauk (tempe, ikan dan ayam rendang), dan sayur kol gulai serta sambalnya. Nikmat alhamdulillah :")

Iftar Jama'i

Nasi, sayur dan lauk pauk

Kolak pisang dan es buah 



Pada acara itu saya diberikan amanah sebagai Master of Ceremony (MC) yang memandu jalannya acara. Selain itu, saya dan suami pun diberi amanah untuk mengantarkan beberapa rekan panitia lain hingga sampai ke depan kediaman mereka. Sebagai informasi, suami mengantar saya ke tempat acara dan menunggui saya hingga acara selesai. Hiks terima kasih suamiku. Kau memang andalanku❤️

MC dan Asisten MC :p


Ada percakapan yang kocak saat kami masih di rumah bersiap-siap menuju tempat acara. Saya bermaksud menanyakan pendapat suami tentang baju apa yang harus saya kenakan. Yes his opinion matters a lot (sometimes)πŸ˜†

Me : "Yang.. aku mending pake baju item kerudung ungu atau baju item kerudung coklat? Soalnya dresscode panitia bajunya item nih.."
Him : "Bagusan yang coklat."
Me : "Ohh.. oke..."
Beberapa saat kemudian..
Me : "Eh yang tapi kerudung coklat aku yang ini kurang bagus. Mendingan yang ungu. Menurut ayang gimana?"
Him : *ketawa "Ayang nih kebiasaan.. nanya pendapat aku tapi sebenernya di pikirannya sendiri udah punya pilihan.." 
Me : "hhahah masa sih?" *ikutan ketawa
Saya pun berganti baju. Namun Saat keluar kamar, akhirnya baju yang saya kenakan adalah hitam hitam. Dua pilihan yang ditanyakan ke pak suami ga ada yang dipilih pada akhirnya πŸ˜‚
Him : *ketawa sambil garuk tembok

Hihi percakapan di atas hanya intermezzo saja. Ternyata meme-meme percakapan suami istri yang bertebaran di internet dialami oleh saya sendiri πŸ˜‚

Baik.. masuk kepada inti cerita.. karena kami diamanahkan untuk mengantar pulang beberapa rekan panitia lain, maka saat semua telah selesai diantar dengan selamat, ada momen dimana kami bisa bercerita dengan apa adanya. Mengeluarkan uneg-uneg yang ada di pikiran saya. Curhat lah tentang berbagai hal. Karena untuk mengekspresikan uneg-uneg tersebut saya harus memilih waktu yang tepat.

Maka poin penting lain di dalam komunikasi produktif selain 2C dan kaidah 7-38-55 adalah "choose the right time" alias "pilih waktu yang tepat" di dalam menyampaikan komunikasi tersebut. Artinya pesan disampaikan harus melihat situasi dan kondisi yang tepat yaitu pada waktu-waktu yang nyaman bagi kedua belah pihak.

Karena saat itu suasananya malam, tenang, Afifa tertidur di pelukan saya, saya merasakan inilah waktu yang tepat untuk curhat kepada suami tentang masalah akademis. Ya.. di dalam mobil, di perjalanan kami menuju rumah.

Me : "Yang aku suka sedih kalau ada orang yang berpedapat bahwa aku ambil Ph.D itu semata-mata ingin mengejar dunia. Ada yang komentar bahwa kelak di akhirat bahkan gelar Akademik ini gak akan Allah tanyakan, gak akan ada gunanya.."
Him : *fokus mendengarkan
Me : "Justru menurut aku itu pandangan yang sangat sekuler: memisahkan kegiatan dunia (akademik) dengan agama (akhirat). Bukankah dalam Islam segalanya dianggap sebagai ibadah kepada Allah jika kita meniatkannya untuk ibadah padaNya?"
Him : *masih fokus mendengarkan
Me : "Justru aku yakin Allah ga akan menyia-nyiakan ikhtiar akademis kita karena kita berniat kuliah setinggi-tingginya dalam rangka beribadah sama Allah. Dengan ilmu yang aku dapet ini, aku berusaha untuk berkontribusi untuk ummat. Dan Islam sendiri kan sangat menghargai ilmu pengetahuan yang bermanfaat.. Iya kan?"
Him : "Iya aku setuju.. aku juga pernah kok dikomentarin kaya Ayang gitu.."
Me : "oh ya? Terus Ayang jawab apa?"
Him : "Ya ga jawab apa-apa. Diemin aja, karena percuma kan kalau didebat juga. Manusia itu punya pemikiran dan pembawaannya masing-masing. Ada yang mesti kita jawab, tapi ada juga yang cukup kita dengar tapi ga perlu ditanggapi apalagi dipikirin. Toh kita sendiri kan yang menjalani.. Niat kita ambil Ph.D dalam rangka beribadah kepada Allah ya cuma kita yang tau. Biarlah orang menilai apa, yang penting kita berusaha menyelesaikan amanah ini dengan sebaik-baiknya.."
Me : "Ih aku setuju banget.."
Him : "Iya.. kita jadi orang berilmu dan bermanfaat itulah sebenarnya kontribusi nyata kita untuk Islam. Bukan menjadi beban bagi yang lain. Iya kan?"
Me : "ih setujuuu.."
Him : *tersenyum
Me : "Makasih ya yang.. eh btw yang, kalau misalnya aku lagi bersikap nyebelin, itu tandanya aku perlu disayang lebih banyak lagi. Jadi kalau aku ngambek suatu saat misalnya, peluk aja.. pasti aku berubah manis lagi.. hahahahaha.."
Him : *ketawa cekikikan *pasrah aja deh doi mah

Begitulah di malam perjalan pulang kami menuju rumah kami manfaatkan untuk saling curhat. Biasanya setelah curhat dengan suami, saya merasa lebih lega karena mendapatkan insight baru. Alhamdulillah :")

#level1
#day5
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Saturday 3 June 2017

Tantangan Komunikasi Produktif Kelas Bunda Sayang IIP : Day 4 "I Love You"

Salah satu hal yang saya suka dari Kuala Lumpur kota yang kami tinggali saat ini adalah tersedianya public space yang dapat dimanfaatkan warga untuk melakukan berbagai aktivitas outdoor seperti bersepeda, jogging, bersepatu roda atau bahkan hanya sekedar gelar tikar dan buka timbel. Hehehe..

Adalah Taman Tasik Titiwangsa, sebuah taman umum di tengah kota Kuala Lumpur yang tidak terlalu jauh dari tempat kami tinggal yang sering kami kunjungi untuk jogging atau bersepeda. Afifa pun selalu super excited setiap kami membawanya ke sana karena ia akan kami sewakan sepeda anak-anak dan kami bawa keliling taman.

Taman Tasik Titiwangsa dengan pemandangan KLCC dan KL Tower

Jogging track


Sebagai informasi, di Taman Tasik Titiwangsa banyak sekali vendor yang menyediakan jasa sewa sepeda dan sepatu roda. Harganya bervariasi tergantung dari jenis sepedanya. Biasanya sepeda single baik untuk anak-anak ataupun dewasa dicharge sekitar RM10 per jam. Sedangkan sepeda triple biasanya dicharge RM20-25 per jam.

Penyewaan Sepeda dengan Berbagai Jenis Sepeda #1

Penyewaan Sepeda lainnya #2


Sore itu kami pun mengajak Afifa untuk bersepeda berkeliling danau di Taman Titiwangsa sekalian ngabuburit menunggu adzan maghrib. Meski cuaca panas, Afifa sangat bahagia saat menaiki sepeda dan bahkan dia sendiri yang memilih sepeda mana yang akan ia naiki.

Afifa dengan Sepeda Pilihannya :D

Selain mengajak Afifa berkeliling sambil kami berjogging, momen seperti ini pun saya dan a Hambari manfaatkan untuk bercengkrama, saling bertukar cerita dan bahkan saling menyatakan perasaan masing-masing.

Me and My Husband :D


Seperti di postingan sebelumnya, bahwa selain pesan itu sendiri, yang sangat penting di dalam berkomunikasi adalah bagaimana kita mengirimkan pesan tersebut yang terlihat dari bagaimana intonasi suara kita dan bahasa tubuh kita. Masih ingat kan tentang Kaidah 7-38-55?

Meski pesannya adalah "I love you" tapi kalau disampaikan dengan muka yang sedang cemberut atau suara bentakan, pasti sang penerima pesan akan ragu.. beneran cinta ga sih? Hehehe..

Nah momen-momen kebersamaan sederhana sore itu saya manfaatkan untuk mengungkapkan perasaan saya kepada suami saya bahwa saya mencintainya (insyaAllah karena Allah). Pesan itu disampaikan sambil kami bergandengan tangan mengelilingi taman, sambil kami saling tersenyum dan bahkan tertawa saat menemani Afifa bermain di playground yang tersedia di taman tersebut. 


Afifa bermain di Playground


Alhamdulillah.. "Ya Allah.. jadikanlah keluarga kami sebagai keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, yang saling setia dan mencintai karena-Mu. Jaga kami ya Allah dan masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa.. persatukan kami kembali bersama anak keturunan kami tanpa terkecuali  di dalam syurga FirdausMu ya Allah.. aamiin.. I love you my husband :")"

Holding Hands :')



#level1
#day4
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Friday 2 June 2017

Tantangan Komunikasi Produktif Kelas Bunda Sayang IIP : Day 3 "Cappuccino Dingin"



Selain kaidah 2C (Clear and Clarify), salah satu aspek penting dari komunikasi produktif lainnya adalah "Kaidah 7-38-55". Apa itu?

Menurut Albert Mehrabian, seorang professor psikologi dari UCLA yang terkenal akan publikasinya tentang "verbal and non-verbal message", aspek verbal (kata-kata) itu hanya 7% memberikan dampak pada hasil komunikasi. Justru komponen yang lebih berpengaruh adalah intonasi suara (38%) dan juga bahasa tubuh (55%).

Artinya sebaik apapun kata-kata atau nasihat pada pasangan namun disampaikan dengan intonasi suara dan bahasa tubuh (gesture) yang salah, maka komunikasi tersebut tidak akan menjadi produktif.

Pagi ini saat sahur, saat saya masih menyelesaikan shalat malam, terdengar suara gumaman kekesalan suami dari dapur. Begitu selesai shalat, saya datangilah suami.

Me: "Ada apa yang?"
Him: "Ini lho aku kesel, aku lagi buat white cappuccino eh malah aku masukin air dingin bukan air panasnya."
Me: "Ya udah, ganti aja lagi." (Maksudnya buat baru lagi aja)
Him: "Ini sachet terakhir yang.." *sambil wajah kesel

Nah kalau saya ikuti emosinya, saya bisa aja bilang, "Ya udahlah cuma gitu aja ga usah berlebihan reaksinya. Ngabisin energi aja. Lagian cappuccino yang biasa masih ada." Tapi itu tidak akan membuahkan hasil yang baik. Karena pasti kekesalan suami akan bertambah-tambah.

Kemudian saya tersenyum, mengusap punggung suami, kemudian bilang dengan lembut, "sabar ya.." :")

Alhamdulillah wajah suami langsung berubah dari kesal berangsur-angsur menjadi biasa lagi. Bahkan saya pun dibuatkan olehnya segelas milo hangat kesukaan saya. Alhamdulillah :")

Jadi benar ya, dalam komunikasi produktif kata-kata saja tidak cukup. Emosi kitalah yang paling utama. Kata Mba Okina Fitriani di dalam buku "The Power of Enlightening Parenting", emosi dan logika itu ibarat timbangan, jika emosi tinggi (berat ke bawah) maka logika akan rendah (ringan ke atas). Jadi kalau emosi, logika gak akan jalan. Maka selesaikan dulu emosi kita. Baru berkata-kata yang sesuai, dengan intonasi suara yang baik dan bahasa tubuh yang tepat.

Cappuccino dan Milo. Yang satu dingin, satu panas :D :D


#level1
#day3
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip