Lima Pilar Komunikasi
Melihat
betapa krusialnya komunikasi antara orang tua dan anak di dalam meng-install
berbagai values yang dapat menjaga
fitrah baik anak, maka diperlukan metode komunikasi efektif untuk mencapai
tujuan tersebut. Mba Iwed menjelaskan bahwa setidaknya ada lima pilar dasar
komunikasi, dimana sebenarnya pilar ini tidak hanya khusus untuk komunikasi
antara orang tua dengan anak, tetapi umum untuk komunikasi di antara manusia. Jadi
metode ini pun dapat digunakan untuk komunikasi dengan pasangan, sahabat, dan
sebagainya.
Pertama, selesaikan dulu
emosinya. Ini merupakan bagian yang paling mendasar di antara pilar komunikasi
lainnya. Karena, emosi dengan logika sifatnya saling bersubstitusi alias saling
menghilangkan. Ibarat timbangan, jika emosi naik (semakin berat ke bawah), maka
logika akan turun (semakin ringan ke atas). Demikian pula jika emosi turun,
maka logika pun akan naik. Maka wajar sekali jika agama kita melarang untuk
kita membuat keputusan di saat sedang marah, karena keputusan tersebut dibuat
berdasarkan emosi sesaat dan abai dengan logika. Bahkan, jika keputusan itu
tetap dibuat, maka kemungkinan ia akan menjadi sesuatu yang akan kita sesali di
kemudian hari. Jadi, sebelum berkomunikasi, maka penting untuk meredam dahulu
emosi kita, karena emosi ini menular. Jika kita marah, maka kemungkinan lawan
bicara kita akan ikut marah. Inhale
exhale.. Sabar… Sabar… :D
Untuk
menyelesaikan emosi ini, ada beberapa teknik yang dapat dilakukan. Namun Mba
Iwed tidak menjelaskan semuanya secara terperinci, karena adanya keterbatasan
waktu. Salah satu teknik penyelesaian emosi adalah dengan cara “framing vs. reframing”. Apa itu?
Framing merupakan makna pertama yang kita
pilih terhadap suatu peristiwa. Misalnya nih saat kita menyetir mobil,
tiba-tiba ada mobil lain menyalib mobil kita dengan kecepatan tinggi, kemudian
reaksi dan pikiran kita terhadap mobil yang menyalib tersebut jika disertai
emosi adalah: “Dasar nih mobil kurang ajar!” lalu dengan emosi kita kejar mobil
tersebut lalu kasih sumpah serapah %$#@^&!*!@XY!!!!!! Hehehhee… Nah itulah framing awal kita jika kita marah atau
yang disebut discouraging framing.
Nah apakah discouraging framing ini
dapat diubah? Jawabannya bisa!! Syaratnya adalah adsal kita mau memperluas cara
pandang kita. Mba Okina di dalam bukunya menjelaskan bahwa reframing adalah penggantian bingkai makna menjadi makna baru. Nah
balik lagi contoh di atas, reframing yang
dapat kita lakukan adalah mengganti pandangan kita terhadap mobil lain yang
menyalib dengan kecepatan tinggi itu menjadi “Oh… kasihan, mungkin mobil itu
supirnya kebelet pingin ke toilet…” atau “Oh… kasihan, mungkin mobil itu
penumpangnya ada yang sakit atau mau melahirkan sehingga harus segera ke Rumah
Sakit.” Nah… kalau sudah seperti itu, kita tidak akan marah dan emosi. Artinya
kita telah meluaskan makna atas suatu peristiwa ke arah yang lebih positif,
yang disebut dengan “enlightening
reframing”. Kita akan selalu berusaha untuk berprasangka dan berpikiran
positif dalam rangka meredam dan mengendalikan emosi kita… Susah ga untuk dipraktekan?
Kata Mba Iwed, teknik ini harus terus dilatih. Jika sekali tidak berhasil, maka
teruslah dicoba. Konsisten tapi fleksibel alias kreatif mencari suatu cara yang
sukses.
Ada
pengalaman pribadi yang saya alami sendiri. Pulang dari seminar kemarin, Afifa
langsung berlari ke arah saya dan minta gendong. Mungkin Afifa kangen saya
karena sudah saya tinggal selama kurang lebih enam jam (termasuk perjalanan dan
makan siang setelah acara). Langsung saya gendonglah ia. Tapi ternyata Afifa
maunya digendong terus, saya turunkan sedikit dia langsung nangis. Nah…
kemudian saya coba untuk mempraktekan teknik reframing ini. Awalnya perasaan saya adalah kesel dan capek, ya
kebayang lah baru pulang harus menggendong Afifa yang hampir 14 kg itu :D
Hehehehe… Tapi saya berusaha untuk meluaskan makna. Saya ubah cara pandang saya
dari, “Aduh Afifa manja nih pinginnya
digendong aja padahal dia udah gede dan berat…” menjadi “Alhamdulillah Afifa kangen Mamanya, dia
merasa nyaman berada dekat saya. Palingan dia minta gendong-gendong gini ga
akan lama lagi… Dan Alhamdulillah Allah kasih saya fisik yang sehat sehingga
kuat untuk menggendong Afifa.” Saya lakukan self-talk ini kepada diri saya. Dan… Benar lho, saya langsung
merasakan mood saya menjadi jauh
lebih baik. Dan ketika saya menggendong Afifa, saya malah merasa semakin sayang
padanya dan yang ada di hati dan pikiran saya adalah doa-doa terbaik untuk
Afifa padahal awalnya adalah keluhan… :”) Masya Allah yah betapa kekuatan
sebuah pikiran dan cara pandang kita akan suatu hal berdampak luar biasa kepada
diri kita.
Kedua, fokus pada tujuan. Mba
Iwed menjelaskan bahwa apapun yang kita lakukan harus memiliki tujuan, termasuk
komunikasi. Karena dengan menentukan tujuan, kita akan dapat menentukan
strategi dan langkah kongkrit apa untuk mencapai tujuan kita. Pun kita dapat
melakukan evaluasi apakah cara tersebut sudah mendekati tujuan yang hendak
dicapai, ataukah justru malah menjauhinya. Dan kesuksesan sebuah komunikasi
dapat dilihat tercapai atau tidaknya tujuan dari komunikasi tersebut.
Ketiga, membangun kedekatan (rapport). Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, rapport merupakan koneksi
dan kedekatan hati di antara pasangan komunikasi. Ini sangat menentukan keberhasilan
suatu komunikasi apakah tujuan komunikasi dapat tercapai atau tidak. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membangun kedekatan di antara pasangan
komunikasi yaitu :
1. Fokus
pada hal baik dengan cara perbanyak memuji dan hindari mencela,
2. Ikuti
nada suara. Misalnya jika anak bersemangat, maka tanggapilah dengan semangat.
Jangan malah saat anak excited menceritakan
sesuatu kita malah datar dan memperlihatkan ekspresi tidak peduli.
3. Ungkapkan
emosi dengan benar. Seringkali kita meluapkan emosi atas segala kejadian dengan
marah. Misalnya, anak nyaris celaka kita marahi padahal sebenarnya kita
khawatir atau anak gagal ujian pun kita marahi padahal sebenarnya kita sedih. Jadi,
emosi yang kita letakkan itu tidak pada tempatnya.
4. Hadirkan
diri kita sepenuhnya untuk anak kita, meski tanpa kata-kata. Singkirkan gadget atau hal-hal yang dapat men-distract perhatian kita pada saat kita
membersamai anak kita. Misalnya kita menemani anak kita bermain lego tanpa
banyak mengarahkan anak harus membuat apa, cukup berikan senyuman.
5. Luangkan
waktu berkualitas dengan anak dalam satu hari tanpa ada gangguan sama sekali.
Misalnya Mba Iwed mencontohkan, ia selalu memiliki waktu us-time antara dirinya dengan anak pertamanya saja, dengan anak
kedua-nya saja, dan dengan anak ketiga-nya saja. Tidak perlu berlama-lama,
hanya sekitar 20 hingga 30 menit sehari, tapi kita benar-benar memfokuskan diri
kita sepenuhnya terhadap anak kita, berdiskusi mengenai hal-hal yang anak kita
rasakan dan perlukan.
6. Menjadi
pendengar yang baik dan tulus. Seringkali orang tua melakukan komunikasi satu
arah saja. Banyak dari kita berpikir bahwa orang tualah yang harus didengar
oleh para anak. Padahal, sejatinya komunikasi sifatnya dua arah, yang artinya
siapapun kita, maka kita memiliki hak untuk didengar sekaligus kewajiban untuk
mendengar. Jadilah pendengar yang baik untuk anak kita, agar tumbuh kepercayaan
dari anak kita terhadap kita yang akhirnya akan menumbuhkan kedekatan hati
alias rapport.
7.
Kenali indra mana yang sedang aktif digunakan.
Misalnya anak bercerita akan suatu peristiwa, kita harus tau indra mana yang
sedang ia ceritakan. Apakah perasaannya kah? Apakah penglihatannya kah? Atau
pendengarannya kah?
Keempat, ketajaman indera. Mba
Okina di dalam bukunya menjelaskan bahwa ketajaman indera diperlukan untuk
menangkap gerakan tubuh, predikat yang digunakan, reaksi spontan, dan membaca
tanda-tanda apakah rapport sudah
terbangun atau belum.
Kelima, fleksibel di dalam
bertindak. Mba Iwed menjelaskan bahwa bersikap fleksibel artinya kreatif di
dalam melakukan komunikasi. Fleksibel ini bukan berarti tidak konsisten dan
tidak kongruen. Fleksibel ini maksudnya jika satu cara komunikasi gagal atau
tidak mencapai tujuannya, maka kita harus kreatif mencari cara lain agar
komunikasi tersebut bisa sukses. Mungkin seperti pepatah yang mengatakan,
“Banyak jalan menuju Roma” :’)
Menanamkan Nilai dan Keyakinan
Setelah
pillar komunikasi, Mba Iwed menjelaskan bahwa agar nilai dan keyakinan dapat
ter-install dengan baik di dalam diri anak, ada beberapa hal yang mesti orang
tua lakukan, yaitu sebagai berikut :
Pertama,
jadilah teladan yang baik dulu. Artinya lakukanlah terlebih dahulu dan mulai
dari diri sendiri dahulu sebelum menanamkan suatu hal kepada anak kita.
Misalnya kita ingin menanamkan nilai kebersihan kepada anak kita, maka
contohkan dulu dari diri kita bahwa pun menjaga dan mencintai kebersihan. Sekali
lagi, “Children do. Children see.”
Atau ketika ingin menerapkan disiplin, maka orang tua pun harus menjadi
disiplin terlebih dahulu. Untuk menerapkan disiplin ini, harus ada kesepakatan
antara orang tua dan anak. Artinya tidak ada disiplin tanpa kesepakatan. Maka
penting untuk orang tua membuat aturan yang disepakati oleh anak, bahkan Mba
Iwed bilang kalau bisa aturan tersebut tertulis dan ditandatangani oleh orang
tua dan anak di atas materai. Hehehehe… Misalnya, saat orang tua memberikan hand phone kepada anak, maka orang tua
berikan dulu apa saja aturan yang harus dipatuhi dan disepakati oleh anak.
Kedua,
katakana nilai dan keyakinan tersebut secara langsung, sering, konsisten dan di
banyak kejadian. Misalnya saat moment
makan malam bersama, “Nak, Allah itu Maha
Baik ya, Dia berikan kita lidah yang sehat jadi kita bisa merasakan lasagna
buatan Mama ini enak sekali.” Atau saat di mobil sambil melihat sekeliling
kita katakana, “Nak, Allah itu Maha Kuasa
ya, coba lihat ada awan, matahari, dan gunung semuanya adalah ciptaan Allah.”
Ketiga,
gunakan metafora dan story telling. Artinya
kita memberikan nasihat melalui kisah, dongeng, dan perumpamaan agar lebih
mudah diterima oleh anak karena kita berbicara dengan bawah sadar anak.
Misalnya Mba Iwed memberikan pengalaman pribadinya. Saat sarapan pagi sebelum
berangkat ke sekolah, anak pertama Mba Iwed mengeluh, “Aduh malas pergi sekolah ih…” Karena emosi menular, maka anak
keduanya pun menanggapi, “Iya males ya,
mendingan libur kaya kemarin.” Dan sukses membuat anak bungsunya berkata, “Iya aku juga ga mau sekolah hari ini.”
Kalau ikutin nafsu, pinginnya Mba Iwed langsung bilang, “Kalian kok gak bersyukur sih bisa sekolah, banyak anak di luar sana
yang ga bisa sekolah…” Tapi kebayang donk reaksi penolakan dari anak-anak kalau
Mba Iwed langsung frontal to the point
bilang hal tersebut saat itu juga.
Mba
Iwed kemudian melakukan self-talk
pada dirinya. “Okay, anak saya lagi
merasakan malas pergi ke sekolah… Maka tugas saya untuk membuat mereka semangat
lagi untuk berangkat ke sekolah…” Mba Iwed tenangkan diri dulu. Ia terapkan
poin pertama dari pilar komunikasi: Selesaikan emosi, jangan terpancing untuk
marah karena logika akan turun dan malah merunyamkan proses komunikasi itu. Kemudian
ia beralih ke poin kedua: tentukan tujuan. Mba Iwed punya tujuan, “Saya harus bikin anak-anak semangat lagi…”
Setelah
emosi selesai dan Mba Iwed sudah memiliki tujuan komunikasi, kemudian dengan
tenang ia berkata pada anak-anaknya, “Nak,
yuk kita bayangin… Suatu pagi kalian pakai baju yang lusuuuh sekali, lapar belum
sarapan, kemudian jalan kaki sambil mengambil sampah. Kemudian kalian melihat ada
anak-anak lain di seberang jalan yang pakai baju seragam yang bersih dan wangi,
mau berangkat sekolah dalam keadaan kenyang karena sudah sarapan masakan
Ibunya… Kira-kira gimana ya perasaan kalian?” Tanpa ba-bi-bu ketiga anak
Mba Iwed langsung bubar dan berkata, “Aku
mau mandi ah mau siap-siap sekolah…” Yeay mission complete: bikin anak-anak semangat sekolah. Itulah contoh
metafora, mengajak anak membayangkan jika mereka berada di atas sepatu orang
lain. Dan itu membuat anak-anak berpikir secara jernih di bawah sadar mereka
sehingga mereka dapat menarik kesimpulan : “Betapa
beruntungnya saya bisa bersekolah, sedangkan di luar sana banyak anak yang ga
bisa sekolah.” Begitulah salah satu contoh komunikasi efektif yang
dilakukan Mba Iwed. Bisa dicoba ya :’)
Keempat,
reinforcement and gossiping. Eits… Ini bukan sembarang nge-gosip ya. Tapi
ini adalah salah satu cara agar anak dapat fokus mendengar apa yang kita
bicarakan, sehingga tujuan komunikasi berhasil. Misalnya seorang Ibu ingin
memuji anaknya karena telah menjaga kebersihan kamarnya, nah untuk memberikan
pujian ini, sang Ibu tidak langsung mengatakan kepada anaknya, tapi malah
kepada suaminya di depan anaknya, bisik-bisik tapi masih sangat jelas terdengar
sang anak. “Pah, Alhamdulillah Kakak hari
ini membereskan kamarnya sendiri tanpa disuruh, rumah kita jadi semakin rapi…
Aku bahagia dan Allah juga pasti bahagia karena Dia menyukai kebersihan…”
Anak yang mendengar orang tuanya berbisik-bisik (yang jelas ya hehehe) cenderung
akan lebih fokus untuk mendengarkan dan dia akan bahagia atas pujian efektif
tersebut. Ingat lagi ya tentang prinsip memuji efektif :”)
Hypnotic
Language Pattern
Hypnotic Language Pattern (HLP)
merupakan salah satu cara menanamkan nilai dan keyakinan dengan menggunakan
bahasa yang memengaruhi hingga ke bawah sadar pasangan komunikasi. Jadi ini
merupakan cara instalasi nilai dan keyakinan selain empat cara di bagian
sebelumnya. Ada beberapa contoh metode
bagaimana menggunakan HLP yang efektif ini :
Pertama,
energy flows where attention goes as
directed by intention. Misalnya kita memotivasi anak menghadapi ujian dan
pertandingan dengan membayangkan hasil yang baik. Misalnya, “Papa pingin tau, gimana ya rasanya jika
Kakak bisa lulus ujian akhir ini dengan baik?” Jadi perhatian anak akan berfokus
pada “lulus ujian akhir dengan baik” dan dia akan membayangkan hal tersebut.
Kedua,
using choices to reach your goals.
Artinya kita memberikan pilihan kepada anak agar tujuan komunikasi kita
tercapai. Berikan anak pilihan dan biarkan dia yang memutuskan. Misalnya, “Adek mau mandi sekarang atau mandi 10 menit
lagi?” Tujuannya jelas, kita ingin menyuruh anak mandi, jadi apapun
pilihannya dia akan mandi. Kalau memilih 10 menit lagi, maka pasang stop watch dan alarm yang menandakan
waktunya mandi.
Saya
pun mencoba teknik ini pada Afifa kemarin. “Afifa
mandi sore yuk…” Afifa jawab, “Engga
mau mah…” karena dia lagi asyik bermain. Oke ga sukses, kemudian saya ubah
ajakan dengan memberikan pilihan, “Afifa
mau mandi sama Mama, Papa, atau Bibi?” Dia malah jawab sambil mau menangis,
“Afifa engga mandi mah..” (maksudnya
dia gak mau mandi). Wah pilihan aja tetap ditolak. Oke selesaikan emosi saya
dulu jangan ampe terpancing untuk memaksa dia, fokus pada tujuan yaitu agar
Afifa mandi sore, dan fleksibel dalam bertindak, cari cara lain. Saya pun ganti
pertanyaan menjadi, “Afifa mau mandi sore
sambil bawa gelas-gelasan atau piring-piringan?” Kemudian Afifa diam
sebentar sambil berpikir kemudian menjawab, “Main gelas.” (maksudnya dia memilih mandi dengan membawa gelas-gelasannya).
Kemudian dia sendiri ke belakang, “Mama
mandi yuk…” sambil membawa gelas-gelasannya. Alhamdulillah tujuan mengajak
Afifa mandi sukses tanpa ada drama :’)
Ketiga,
positive alternatives. Mba Iwed
menjelaskan maksudnya adalah kita tidak berasumsi bahwa pasangan komunikasi
kita sudah tau dan kita pun memberikan alternatif yang mengasyikan atas suatu
hal. Misalnya, kita ingin anak kita berhenti nonton TV karena itu tidak baik bagi kesehatan mata dan
ingin anak melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat. Jangan kita malah bilang
gini, “Jangan menonton TV aja, lakukan
hal lain yang bermanfaat donk…” Nah komunikasi kaya gini ga jelas. “Hal
lain” apa yang dimaksud? “Lebih bermanfaat” seperti apa yang diharapkan? Kita
bisa mengubah kalimat menjadi, “Udahan
yuk nonton TV-nya, sekarang kita naik sepeda yuk keliling komplek sama Papa.”
Kalimat ini lebih jelas: 1. Kita ingin anak kita berhenti nonton TV, 2. Kita
berikan alternatif kegiatan yang lebih bermanfaat dan mengasyikkan juga karena
naik sepeda sama artinya dengan anak menggerakkan fisiknya. Tapi jangan sampai
alternatifnya malah lebih ga asyik, misalnya, “Udahan yuk nonton TVnya, sekarang tolong sikat kamar mandi…”
padahal anaknya ga suka disuruh nyikat kamar mandi. Hehehehe…
Keempat,
“setelah” dan “sambil”. Kita dapat menggunakan dua kata ini sebagai cara
meminta anak kita melakukan sesuatu. Misalnya, “Sayang, ‘setelah’ kamu kerjakan PR, anter Mama beli buku di toko buku
yuk.” Atau “Adek, ‘sambil’ adek mengerjakan
PR, mau mama buatkan cemilan apa?” Tujuannya jelas, kita ingin anak kita mengerjakan
PR tanpa memerintah langsung. Ini merupakan semacam “reward”. Nah tapi Mba Iwed mengingatkan bahwa komunikasi seperti
ini pun tidak harus selalu dan sering, karena khawatir anak akan melakukan
sesuatu karena reward dari orang
lain. Jadi, balik lagi kita harus fleksibel dalam berkomunikasi. Jangan
melalukan cara yang “itu-itu aja” :D
Kelima,
questioning v.s. commanding. Mba Iwed
mengatakan bahwa ketika anak diberikan kesempatan untuk memutuskan dan memberikan
ide, maka komunikasi akan cenderung berhasil. Dalam hal ini, kita dapat
melalukan metode yang membuat seolah-olah itu ide mereka sendiri tentunya
dengan memerhatikan intonasi suara kita. Misalnya kita ingin menyuruh anak kita
gosok gigi. Dialog yang dapat dilakukan oleh kita (K) dan anak kita (A):
K :
“Ayo siapa yang belum gosok gigi??”
A :
“Saya!!”
K :
“Kalau belum gosok gigi, gigi kita gimana ya?
A :
“Gigi kita kotor donk bunda..”
K :
“Kalau gitu kita harus gimana ya agar gigi kita bersih?”
A :
“Gosok gigi bunda…” kemudian anak pun gosok gigi atas ide mereka sendiri.
Keenam,
acknowledging and reorienting. Ini
efektif terutama di dalam mengatasi keluh kesah pasangan komunikasi kita.
Misalnya anak kesal karena nilainya jelek semua. Kita dapat menanggapinya
dengan, “Iya Mama tau kamu kesal, menurut Kakak apa yang bisa dilakukan agar
bisa meningkatkan nilai Kakak?”
Ketujuh,
starting-increasing effect. Maksudnya adalah kita dapat memuji dengan
menggunakan kata “semakin” yang bermakna anak sudah seperti itu sebelumnya dan
sekarang semakin baik. Misalnya, “Wah Alhamdulillah Adek ‘semakin’ baik
merapikan kamarnya.” Artinya sebelumnya sudah baik dalam merapikan kamar. Juga
kita harus hati-hati menggunakan kata “mulai”. Misalnnya, “Kamu ‘mulai’ bohong
sama Papa ya…” Artinya kalimat ini seolah-olah aka nada kelanjutan bohongnya.
Kedelapan,
be careful with why. Mba Iwed
menjelaskan bahwa dengan kita menanyakan “mengapa” atas suatu kesalahan anak, maka
anak akan cenderung merasa bahwa hal tersebut kita yakini benar dan anak akan
mencari-cari alasan pembenaran untuk hal tersebut. Misalnya, “Kenapa kamu terlambat bangun terus?” Kalimat
ini menunjukkan bahwa adalah benar bahwa kita menganggap anak kita selalu
terlambat dan mereka akan mencari-cari alasan pembenarannya. Coba diubah
menjadi, “Bagaimana ya caranya agar Kakak gak terlambat bangun?” Jadi
anak akan lebih fokus pada solusi.
Kesembilan,
briefing and role playing. Maksudnya
adalah kita memberikan pengarahan sebelum anak akan melakukan sesuatu atau akan
kita ajak kemana. Pengarahan ini akan menyiapkan mental anak dan anak menjadikan
anak lebih tertib. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan secara
berkesinambungan yaitu : “tell, show,
do/role playing, ask, and evaluate”. Misalnya anak akan dibawa ke dokter
untuk vaksin, maka sebelumnya kita dapat melakukan briefing dan bahkan role
playing proses apa saja yang akan dilalui anak saat bertemu dokter.
“Adek,
besok kita ke dokter jam 4 sore buat vaksin. Sampai di Rumah Sakit, adek nanti
ketemu suster dulu, kemudian adek akan ditimbang dan diukur tingginya. Kemudian
kita akan menunggu sampai suster memanggil nama kita untuk bertemu dokter. Nah…
Saat ketemu dokter, adek akan diperiksa, kemudian divaksin. Mama tau adek
mungkin akan merasa sakit sedikit, tapi ini baik untuk kesehatan Adek. Abis itu
selesai deh…” Kemudian dilanjutkan dengan role
playing semua proses tersebut.
Selesai
deh sesi dengan Mba Iwed. Masya Allah ya ilmunya luar biasa sekali dan sangat
bisa diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Terima kasih Mba Iwed
ilmunya. Semoga dapat kita praktekan :”) Kisah sharing dari Mba Ranty saya
tuliskan di bagian selanjutnya yaa… Stay tuned.
Peserta tertawa saat mendengar penjelasan Mba Iwed dan Mba Ranty
Masya Allah, super keren..terimakasih sudah menuliskan dengan begitu detail lengkap dan jelas.semoga tulisan2 Mbak Qurroh Ayuniyyah menjadi investasi akherat , ilmu yang bermanfaat yang akan dituai pahalanya di kehidupan abadi kelak. Insya Allah.
ReplyDeleteAamiin allahumma aamiin makasih Mba iwed buat ilmu dan doanya :")
DeleteKereeen mb, sy dapat banyak ilmu dari review materinya...sukses sll ya mb, dunia & akhirat..Aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah kalau bermanfaat mba :) aamiin yra terima kasih buat doanya ya doa yg sama buat Mba :")
ReplyDeleteMakasi qurroh telah merangkumkan acara tempo hari, waduhhh merasa tertancap bahwa membesarkan anak tidak gampang dan tanggung jawab besar sekali. Semoga kita bisa jadi orangtua yg amanah dan lebih baik dari hari ke hari aamiin
ReplyDeleteIya tata sama2.. semoga bermanfaat ya ta... :")
Delete