Monday, 13 March 2017

Seminar Parenting “Komunikasi Efektif untuk Generasi Gemilang” Bagian 3


Lima Pilar Komunikasi

Melihat betapa krusialnya komunikasi antara orang tua dan anak di dalam meng-install berbagai values yang dapat menjaga fitrah baik anak, maka diperlukan metode komunikasi efektif untuk mencapai tujuan tersebut. Mba Iwed menjelaskan bahwa setidaknya ada lima pilar dasar komunikasi, dimana sebenarnya pilar ini tidak hanya khusus untuk komunikasi antara orang tua dengan anak, tetapi umum untuk komunikasi di antara manusia. Jadi metode ini pun dapat digunakan untuk komunikasi dengan pasangan, sahabat, dan sebagainya.

Pertama, selesaikan dulu emosinya. Ini merupakan bagian yang paling mendasar di antara pilar komunikasi lainnya. Karena, emosi dengan logika sifatnya saling bersubstitusi alias saling menghilangkan. Ibarat timbangan, jika emosi naik (semakin berat ke bawah), maka logika akan turun (semakin ringan ke atas). Demikian pula jika emosi turun, maka logika pun akan naik. Maka wajar sekali jika agama kita melarang untuk kita membuat keputusan di saat sedang marah, karena keputusan tersebut dibuat berdasarkan emosi sesaat dan abai dengan logika. Bahkan, jika keputusan itu tetap dibuat, maka kemungkinan ia akan menjadi sesuatu yang akan kita sesali di kemudian hari. Jadi, sebelum berkomunikasi, maka penting untuk meredam dahulu emosi kita, karena emosi ini menular. Jika kita marah, maka kemungkinan lawan bicara kita akan ikut marah. Inhale exhale.. Sabar… Sabar… :D

Untuk menyelesaikan emosi ini, ada beberapa teknik yang dapat dilakukan. Namun Mba Iwed tidak menjelaskan semuanya secara terperinci, karena adanya keterbatasan waktu. Salah satu teknik penyelesaian emosi adalah dengan cara “framing vs. reframing”. Apa itu? Framing merupakan makna pertama yang kita pilih terhadap suatu peristiwa. Misalnya nih saat kita menyetir mobil, tiba-tiba ada mobil lain menyalib mobil kita dengan kecepatan tinggi, kemudian reaksi dan pikiran kita terhadap mobil yang menyalib tersebut jika disertai emosi adalah: “Dasar nih mobil kurang ajar!” lalu dengan emosi kita kejar mobil tersebut lalu kasih sumpah serapah %$#@^&!*!@XY!!!!!! Hehehhee… Nah itulah framing awal kita jika kita marah atau yang disebut discouraging framing. Nah apakah discouraging framing ini dapat diubah? Jawabannya bisa!! Syaratnya adalah adsal kita mau memperluas cara pandang kita. Mba Okina di dalam bukunya menjelaskan bahwa reframing adalah penggantian bingkai makna menjadi makna baru. Nah balik lagi contoh di atas, reframing yang dapat kita lakukan adalah mengganti pandangan kita terhadap mobil lain yang menyalib dengan kecepatan tinggi itu menjadi “Oh… kasihan, mungkin mobil itu supirnya kebelet pingin ke toilet…” atau “Oh… kasihan, mungkin mobil itu penumpangnya ada yang sakit atau mau melahirkan sehingga harus segera ke Rumah Sakit.” Nah… kalau sudah seperti itu, kita tidak akan marah dan emosi. Artinya kita telah meluaskan makna atas suatu peristiwa ke arah yang lebih positif, yang disebut dengan “enlightening reframing”. Kita akan selalu berusaha untuk berprasangka dan berpikiran positif dalam rangka meredam dan mengendalikan emosi kita… Susah ga untuk dipraktekan? Kata Mba Iwed, teknik ini harus terus dilatih. Jika sekali tidak berhasil, maka teruslah dicoba. Konsisten tapi fleksibel alias kreatif mencari suatu cara yang sukses.

Ada pengalaman pribadi yang saya alami sendiri. Pulang dari seminar kemarin, Afifa langsung berlari ke arah saya dan minta gendong. Mungkin Afifa kangen saya karena sudah saya tinggal selama kurang lebih enam jam (termasuk perjalanan dan makan siang setelah acara). Langsung saya gendonglah ia. Tapi ternyata Afifa maunya digendong terus, saya turunkan sedikit dia langsung nangis. Nah… kemudian saya coba untuk mempraktekan teknik reframing ini. Awalnya perasaan saya adalah kesel dan capek, ya kebayang lah baru pulang harus menggendong Afifa yang hampir 14 kg itu :D Hehehehe… Tapi saya berusaha untuk meluaskan makna. Saya ubah cara pandang saya dari, “Aduh Afifa manja nih pinginnya digendong aja padahal dia udah gede dan berat…” menjadi “Alhamdulillah Afifa kangen Mamanya, dia merasa nyaman berada dekat saya. Palingan dia minta gendong-gendong gini ga akan lama lagi… Dan Alhamdulillah Allah kasih saya fisik yang sehat sehingga kuat untuk menggendong Afifa.” Saya lakukan self-talk ini kepada diri saya. Dan… Benar lho, saya langsung merasakan mood saya menjadi jauh lebih baik. Dan ketika saya menggendong Afifa, saya malah merasa semakin sayang padanya dan yang ada di hati dan pikiran saya adalah doa-doa terbaik untuk Afifa padahal awalnya adalah keluhan… :”) Masya Allah yah betapa kekuatan sebuah pikiran dan cara pandang kita akan suatu hal berdampak luar biasa kepada diri kita.

Kedua, fokus pada tujuan. Mba Iwed menjelaskan bahwa apapun yang kita lakukan harus memiliki tujuan, termasuk komunikasi. Karena dengan menentukan tujuan, kita akan dapat menentukan strategi dan langkah kongkrit apa untuk mencapai tujuan kita. Pun kita dapat melakukan evaluasi apakah cara tersebut sudah mendekati tujuan yang hendak dicapai, ataukah justru malah menjauhinya. Dan kesuksesan sebuah komunikasi dapat dilihat tercapai atau tidaknya tujuan dari komunikasi tersebut.

Ketiga, membangun kedekatan (rapport). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, rapport merupakan koneksi dan kedekatan hati di antara pasangan komunikasi. Ini sangat menentukan keberhasilan suatu komunikasi apakah tujuan komunikasi dapat tercapai atau tidak. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membangun kedekatan di antara pasangan komunikasi yaitu :
1.     Fokus pada hal baik dengan cara perbanyak memuji dan hindari mencela,
2.     Ikuti nada suara. Misalnya jika anak bersemangat, maka tanggapilah dengan semangat. Jangan malah saat anak excited menceritakan sesuatu kita malah datar dan memperlihatkan ekspresi tidak peduli.
3.     Ungkapkan emosi dengan benar. Seringkali kita meluapkan emosi atas segala kejadian dengan marah. Misalnya, anak nyaris celaka kita marahi padahal sebenarnya kita khawatir atau anak gagal ujian pun kita marahi padahal sebenarnya kita sedih. Jadi, emosi yang kita letakkan itu tidak pada tempatnya.
4.     Hadirkan diri kita sepenuhnya untuk anak kita, meski tanpa kata-kata. Singkirkan gadget atau hal-hal yang dapat men-distract perhatian kita pada saat kita membersamai anak kita. Misalnya kita menemani anak kita bermain lego tanpa banyak mengarahkan anak harus membuat apa, cukup berikan senyuman.
5.     Luangkan waktu berkualitas dengan anak dalam satu hari tanpa ada gangguan sama sekali. Misalnya Mba Iwed mencontohkan, ia selalu memiliki waktu us-time antara dirinya dengan anak pertamanya saja, dengan anak kedua-nya saja, dan dengan anak ketiga-nya saja. Tidak perlu berlama-lama, hanya sekitar 20 hingga 30 menit sehari, tapi kita benar-benar memfokuskan diri kita sepenuhnya terhadap anak kita, berdiskusi mengenai hal-hal yang anak kita rasakan dan perlukan.
6.     Menjadi pendengar yang baik dan tulus. Seringkali orang tua melakukan komunikasi satu arah saja. Banyak dari kita berpikir bahwa orang tualah yang harus didengar oleh para anak. Padahal, sejatinya komunikasi sifatnya dua arah, yang artinya siapapun kita, maka kita memiliki hak untuk didengar sekaligus kewajiban untuk mendengar. Jadilah pendengar yang baik untuk anak kita, agar tumbuh kepercayaan dari anak kita terhadap kita yang akhirnya akan menumbuhkan kedekatan hati alias rapport.
7.     Kenali indra mana yang sedang aktif digunakan. Misalnya anak bercerita akan suatu peristiwa, kita harus tau indra mana yang sedang ia ceritakan. Apakah perasaannya kah? Apakah penglihatannya kah? Atau pendengarannya kah?

Keempat, ketajaman indera. Mba Okina di dalam bukunya menjelaskan bahwa ketajaman indera diperlukan untuk menangkap gerakan tubuh, predikat yang digunakan, reaksi spontan, dan membaca tanda-tanda apakah rapport sudah terbangun atau belum.

Kelima, fleksibel di dalam bertindak. Mba Iwed menjelaskan bahwa bersikap fleksibel artinya kreatif di dalam melakukan komunikasi. Fleksibel ini bukan berarti tidak konsisten dan tidak kongruen. Fleksibel ini maksudnya jika satu cara komunikasi gagal atau tidak mencapai tujuannya, maka kita harus kreatif mencari cara lain agar komunikasi tersebut bisa sukses. Mungkin seperti pepatah yang mengatakan, “Banyak jalan menuju Roma” :’)

Menanamkan Nilai dan Keyakinan

Setelah pillar komunikasi, Mba Iwed menjelaskan bahwa agar nilai dan keyakinan dapat ter-install dengan baik di dalam diri anak, ada beberapa hal yang mesti orang tua lakukan, yaitu sebagai berikut :

Pertama, jadilah teladan yang baik dulu. Artinya lakukanlah terlebih dahulu dan mulai dari diri sendiri dahulu sebelum menanamkan suatu hal kepada anak kita. Misalnya kita ingin menanamkan nilai kebersihan kepada anak kita, maka contohkan dulu dari diri kita bahwa pun menjaga dan mencintai kebersihan. Sekali lagi, “Children do. Children see.” Atau ketika ingin menerapkan disiplin, maka orang tua pun harus menjadi disiplin terlebih dahulu. Untuk menerapkan disiplin ini, harus ada kesepakatan antara orang tua dan anak. Artinya tidak ada disiplin tanpa kesepakatan. Maka penting untuk orang tua membuat aturan yang disepakati oleh anak, bahkan Mba Iwed bilang kalau bisa aturan tersebut tertulis dan ditandatangani oleh orang tua dan anak di atas materai. Hehehehe… Misalnya, saat orang tua memberikan hand phone kepada anak, maka orang tua berikan dulu apa saja aturan yang harus dipatuhi dan disepakati oleh anak.

Kedua, katakana nilai dan keyakinan tersebut secara langsung, sering, konsisten dan di banyak kejadian. Misalnya saat moment makan malam bersama, “Nak, Allah itu Maha Baik ya, Dia berikan kita lidah yang sehat jadi kita bisa merasakan lasagna buatan Mama ini enak sekali.” Atau saat di mobil sambil melihat sekeliling kita katakana, “Nak, Allah itu Maha Kuasa ya, coba lihat ada awan, matahari, dan gunung semuanya adalah ciptaan Allah.

Ketiga, gunakan metafora dan story telling. Artinya kita memberikan nasihat melalui kisah, dongeng, dan perumpamaan agar lebih mudah diterima oleh anak karena kita berbicara dengan bawah sadar anak. Misalnya Mba Iwed memberikan pengalaman pribadinya. Saat sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah, anak pertama Mba Iwed mengeluh, “Aduh malas pergi sekolah ih…” Karena emosi menular, maka anak keduanya pun menanggapi, “Iya males ya, mendingan libur kaya kemarin.” Dan sukses membuat anak bungsunya berkata, “Iya aku juga ga mau sekolah hari ini.” Kalau ikutin nafsu, pinginnya Mba Iwed langsung bilang, “Kalian kok gak bersyukur sih bisa sekolah, banyak anak di luar sana yang ga bisa sekolah…” Tapi kebayang donk reaksi penolakan dari anak-anak kalau Mba Iwed langsung frontal to the point bilang hal tersebut saat itu juga.

Mba Iwed kemudian melakukan self-talk pada dirinya. “Okay, anak saya lagi merasakan malas pergi ke sekolah… Maka tugas saya untuk membuat mereka semangat lagi untuk berangkat ke sekolah…” Mba Iwed tenangkan diri dulu. Ia terapkan poin pertama dari pilar komunikasi: Selesaikan emosi, jangan terpancing untuk marah karena logika akan turun dan malah merunyamkan proses komunikasi itu. Kemudian ia beralih ke poin kedua: tentukan tujuan. Mba Iwed punya tujuan, “Saya harus bikin anak-anak semangat lagi…”

Setelah emosi selesai dan Mba Iwed sudah memiliki tujuan komunikasi, kemudian dengan tenang ia berkata pada anak-anaknya, “Nak, yuk kita bayangin… Suatu pagi kalian pakai baju yang lusuuuh sekali, lapar belum sarapan, kemudian jalan kaki sambil mengambil sampah. Kemudian kalian melihat ada anak-anak lain di seberang jalan yang pakai baju seragam yang bersih dan wangi, mau berangkat sekolah dalam keadaan kenyang karena sudah sarapan masakan Ibunya… Kira-kira gimana ya perasaan kalian?” Tanpa ba-bi-bu ketiga anak Mba Iwed langsung bubar dan berkata, “Aku mau mandi ah mau siap-siap sekolah…” Yeay mission complete: bikin anak-anak semangat sekolah. Itulah contoh metafora, mengajak anak membayangkan jika mereka berada di atas sepatu orang lain. Dan itu membuat anak-anak berpikir secara jernih di bawah sadar mereka sehingga mereka dapat menarik kesimpulan : “Betapa beruntungnya saya bisa bersekolah, sedangkan di luar sana banyak anak yang ga bisa sekolah.” Begitulah salah satu contoh komunikasi efektif yang dilakukan Mba Iwed. Bisa dicoba ya :’)

Keempat, reinforcement and gossiping.  Eits… Ini bukan sembarang nge-gosip ya. Tapi ini adalah salah satu cara agar anak dapat fokus mendengar apa yang kita bicarakan, sehingga tujuan komunikasi berhasil. Misalnya seorang Ibu ingin memuji anaknya karena telah menjaga kebersihan kamarnya, nah untuk memberikan pujian ini, sang Ibu tidak langsung mengatakan kepada anaknya, tapi malah kepada suaminya di depan anaknya, bisik-bisik tapi masih sangat jelas terdengar sang anak. “Pah, Alhamdulillah Kakak hari ini membereskan kamarnya sendiri tanpa disuruh, rumah kita jadi semakin rapi… Aku bahagia dan Allah juga pasti bahagia karena Dia menyukai kebersihan…” Anak yang mendengar orang tuanya berbisik-bisik (yang jelas ya hehehe) cenderung akan lebih fokus untuk mendengarkan dan dia akan bahagia atas pujian efektif tersebut. Ingat lagi ya tentang prinsip memuji efektif :”)

Hypnotic Language Pattern

Hypnotic Language Pattern (HLP) merupakan salah satu cara menanamkan nilai dan keyakinan dengan menggunakan bahasa yang memengaruhi hingga ke bawah sadar pasangan komunikasi. Jadi ini merupakan cara instalasi nilai dan keyakinan selain empat cara di bagian sebelumnya.  Ada beberapa contoh metode bagaimana menggunakan HLP yang efektif ini :

Pertama, energy flows where attention goes as directed by intention. Misalnya kita memotivasi anak menghadapi ujian dan pertandingan dengan membayangkan hasil yang baik. Misalnya, “Papa pingin tau, gimana ya rasanya jika Kakak bisa lulus ujian akhir ini dengan baik?” Jadi perhatian anak akan berfokus pada “lulus ujian akhir dengan baik” dan dia akan membayangkan hal tersebut.

Kedua, using choices to reach your goals. Artinya kita memberikan pilihan kepada anak agar tujuan komunikasi kita tercapai. Berikan anak pilihan dan biarkan dia yang memutuskan. Misalnya, “Adek mau mandi sekarang atau mandi 10 menit lagi?” Tujuannya jelas, kita ingin menyuruh anak mandi, jadi apapun pilihannya dia akan mandi. Kalau memilih 10 menit lagi, maka pasang stop watch dan alarm yang menandakan waktunya mandi.

Saya pun mencoba teknik ini pada Afifa kemarin. “Afifa mandi sore yuk…” Afifa jawab, “Engga mau mah…” karena dia lagi asyik bermain. Oke ga sukses, kemudian saya ubah ajakan dengan memberikan pilihan, “Afifa mau mandi sama Mama, Papa, atau Bibi?” Dia malah jawab sambil mau menangis, “Afifa engga mandi mah..” (maksudnya dia gak mau mandi). Wah pilihan aja tetap ditolak. Oke selesaikan emosi saya dulu jangan ampe terpancing untuk memaksa dia, fokus pada tujuan yaitu agar Afifa mandi sore, dan fleksibel dalam bertindak, cari cara lain. Saya pun ganti pertanyaan menjadi, “Afifa mau mandi sore sambil bawa gelas-gelasan atau piring-piringan?” Kemudian Afifa diam sebentar sambil berpikir kemudian menjawab, “Main gelas.” (maksudnya dia memilih mandi dengan membawa gelas-gelasannya). Kemudian dia sendiri ke belakang, “Mama mandi yuk…” sambil membawa gelas-gelasannya. Alhamdulillah tujuan mengajak Afifa mandi sukses tanpa ada drama :’)


Ketiga, positive alternatives. Mba Iwed menjelaskan maksudnya adalah kita tidak berasumsi bahwa pasangan komunikasi kita sudah tau dan kita pun memberikan alternatif yang mengasyikan atas suatu hal. Misalnya, kita ingin anak kita berhenti nonton TV  karena itu tidak baik bagi kesehatan mata dan ingin anak melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat. Jangan kita malah bilang gini, “Jangan menonton TV aja, lakukan hal lain yang bermanfaat donk…” Nah komunikasi kaya gini ga jelas. “Hal lain” apa yang dimaksud? “Lebih bermanfaat” seperti apa yang diharapkan? Kita bisa mengubah kalimat menjadi, “Udahan yuk nonton TV-nya, sekarang kita naik sepeda yuk keliling komplek sama Papa.” Kalimat ini lebih jelas: 1. Kita ingin anak kita berhenti nonton TV, 2. Kita berikan alternatif kegiatan yang lebih bermanfaat dan mengasyikkan juga karena naik sepeda sama artinya dengan anak menggerakkan fisiknya. Tapi jangan sampai alternatifnya malah lebih ga asyik, misalnya, “Udahan yuk nonton TVnya, sekarang tolong sikat kamar mandi…” padahal anaknya ga suka disuruh nyikat kamar mandi. Hehehehe…

Keempat, “setelah” dan “sambil”. Kita dapat menggunakan dua kata ini sebagai cara meminta anak kita melakukan sesuatu. Misalnya, “Sayang, ‘setelah’ kamu kerjakan PR, anter Mama beli buku di toko buku yuk.” Atau “Adek, ‘sambil’ adek mengerjakan PR, mau mama buatkan cemilan apa?” Tujuannya jelas, kita ingin anak kita mengerjakan PR tanpa memerintah langsung. Ini merupakan semacam “reward”. Nah tapi Mba Iwed mengingatkan bahwa komunikasi seperti ini pun tidak harus selalu dan sering, karena khawatir anak akan melakukan sesuatu karena reward dari orang lain. Jadi, balik lagi kita harus fleksibel dalam berkomunikasi. Jangan melalukan cara yang “itu-itu aja” :D

Kelima, questioning v.s. commanding. Mba Iwed mengatakan bahwa ketika anak diberikan kesempatan untuk memutuskan dan memberikan ide, maka komunikasi akan cenderung berhasil. Dalam hal ini, kita dapat melalukan metode yang membuat seolah-olah itu ide mereka sendiri tentunya dengan memerhatikan intonasi suara kita. Misalnya kita ingin menyuruh anak kita gosok gigi. Dialog yang dapat dilakukan oleh kita (K) dan anak kita (A):
K : “Ayo siapa yang belum gosok gigi??”
A : “Saya!!”
K : “Kalau belum gosok gigi, gigi kita gimana ya?
A : “Gigi kita kotor donk bunda..”
K : “Kalau gitu kita harus gimana ya agar gigi kita bersih?”
A : “Gosok gigi bunda…” kemudian anak pun gosok gigi atas ide mereka sendiri.

Keenam, acknowledging and reorienting. Ini efektif terutama di dalam mengatasi keluh kesah pasangan komunikasi kita. Misalnya anak kesal karena nilainya jelek semua. Kita dapat menanggapinya dengan, “Iya Mama tau kamu kesal, menurut Kakak apa yang bisa dilakukan agar bisa meningkatkan nilai Kakak?”

Ketujuh, starting-increasing effect. Maksudnya adalah kita dapat memuji dengan menggunakan kata “semakin” yang bermakna anak sudah seperti itu sebelumnya dan sekarang semakin baik. Misalnya, “Wah Alhamdulillah Adek ‘semakin’ baik merapikan kamarnya.” Artinya sebelumnya sudah baik dalam merapikan kamar. Juga kita harus hati-hati menggunakan kata “mulai”. Misalnnya, “Kamu ‘mulai’ bohong sama Papa ya…” Artinya kalimat ini seolah-olah aka nada kelanjutan bohongnya.

Kedelapan, be careful with why. Mba Iwed menjelaskan bahwa dengan kita menanyakan “mengapa” atas suatu kesalahan anak, maka anak akan cenderung merasa bahwa hal tersebut kita yakini benar dan anak akan mencari-cari alasan pembenaran untuk hal tersebut. Misalnya, “Kenapa kamu terlambat bangun terus?” Kalimat ini menunjukkan bahwa adalah benar bahwa kita menganggap anak kita selalu terlambat dan mereka akan mencari-cari alasan pembenarannya. Coba diubah menjadi, Bagaimana ya caranya agar Kakak gak terlambat bangun?” Jadi anak akan lebih fokus pada solusi.

Kesembilan, briefing and role playing. Maksudnya adalah kita memberikan pengarahan sebelum anak akan melakukan sesuatu atau akan kita ajak kemana. Pengarahan ini akan menyiapkan mental anak dan anak menjadikan anak lebih tertib. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan secara berkesinambungan yaitu : “tell, show, do/role playing, ask, and evaluate”. Misalnya anak akan dibawa ke dokter untuk vaksin, maka sebelumnya kita dapat melakukan briefing dan bahkan role playing proses apa saja yang akan dilalui anak saat bertemu dokter.
“Adek, besok kita ke dokter jam 4 sore buat vaksin. Sampai di Rumah Sakit, adek nanti ketemu suster dulu, kemudian adek akan ditimbang dan diukur tingginya. Kemudian kita akan menunggu sampai suster memanggil nama kita untuk bertemu dokter. Nah… Saat ketemu dokter, adek akan diperiksa, kemudian divaksin. Mama tau adek mungkin akan merasa sakit sedikit, tapi ini baik untuk kesehatan Adek. Abis itu selesai deh…” Kemudian dilanjutkan dengan role playing semua proses tersebut.

Selesai deh sesi dengan Mba Iwed. Masya Allah ya ilmunya luar biasa sekali dan sangat bisa diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Terima kasih Mba Iwed ilmunya. Semoga dapat kita praktekan :”) Kisah sharing dari Mba Ranty saya tuliskan di bagian selanjutnya yaa… Stay tuned.



Peserta tertawa saat mendengar penjelasan Mba Iwed dan Mba Ranty

6 comments:

  1. Masya Allah, super keren..terimakasih sudah menuliskan dengan begitu detail lengkap dan jelas.semoga tulisan2 Mbak Qurroh Ayuniyyah menjadi investasi akherat , ilmu yang bermanfaat yang akan dituai pahalanya di kehidupan abadi kelak. Insya Allah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin allahumma aamiin makasih Mba iwed buat ilmu dan doanya :")

      Delete
  2. Kereeen mb, sy dapat banyak ilmu dari review materinya...sukses sll ya mb, dunia & akhirat..Aamiin

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah kalau bermanfaat mba :) aamiin yra terima kasih buat doanya ya doa yg sama buat Mba :")

    ReplyDelete
  4. Makasi qurroh telah merangkumkan acara tempo hari, waduhhh merasa tertancap bahwa membesarkan anak tidak gampang dan tanggung jawab besar sekali. Semoga kita bisa jadi orangtua yg amanah dan lebih baik dari hari ke hari aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya tata sama2.. semoga bermanfaat ya ta... :")

      Delete