Prolog
Alhamdulillah…
Pada
hari Sabtu tanggal 11 Maret 2017 jam 9 pagi hingga 12 siang, saya berkesempatan
menghadiri sebuah seminar yang diadakan oleh komunitas Montezorg (penggagasnya
Teh dr. Tafdhila, Teh Ovie dan Mba Mariana) di Whiz Prime Hotel, Pajajaran
Bogor.
Acara
ngariung #3 ini mengundang tiga orang pembicara dari tim Enlighten Empower yaitu
Mba Dewi Sutedja a.k.a Mba Iwed, Mba Septa Harahap a.k.a Mba Cita, dan Mba Iranty Purnamasari a.k.a Mba Ranty (yang suka nonton sinetron “Ojeg Pengkolan” pasti
kenal deh J).
Materi yang disampaikan terinspirasi dari materi workshop dan buku yang
berjudul “The Secret of Enlightening
Parenting” karangan Mba Okina Fitriani dan kawan-kawan.
Mba Cita, Mba Iwed dan Mba Iranty
Sebelum
mengikuti seminar ini, Alhamdulillah saya telah membaca sebagian besar buku Mba
Okina ini dengan harapan agar informasi yang saya terima ketika seminar menjadi
lebih mudah untuk saya cerna. MasyaAllah, saat saya membaca buku ini, saya
langsung jatuh hati dan merasa “tertampar” dan termotivasi untuk memperbaiki diri
saya sendiri. “Change your self first if
you want to change your children.” Karena anak mungkin bisa salah
mendengar, tapi ia tidak pernah salah meniru. Maka jika ada sebuah “kesalahan”
dari anak, evaluasi diri sendiri dulu. Sebagai orang tua, kitalah yang ditiru oleh
anak kita…
Berbekal
dengan semangat memperbaiki diri, saya pun hadir di acara seminar ini. Niat belajar,
niat mendapatkan ilmu dan niat menjadi lebih baik. Semoga dapat menjadi nilai
ibadah di sisi-Nya. Itulah niat saya. Engga lebih dari itu. Karena hal ini pun
sesuai pula dengan misi yang telah saya rumuskan pada kelas matrikulasi
Institut Ibu Profesional (IIP) di homework #4 bahwa salah satu ilmu fardhu ‘ain
bagi saya adalah mempelajari ilmu-ilmu self
improvement dan ilmu-ilmu parenting yang salah satunya adalah ilmu “the enlightening parenting” ini.
Berikut
ini saya paparkan penjelasan dari ketiga pembicara kita hari ini. Mungkin
tulisan ini akan saya bagi ke dalam beberapa bagian agar temen-temen tidak
lelah membacanya. Selain itu, agar lebih komprehensif dipahami, ada beberapa
penjelasan yang saya tambahkan berdasarkan buku tulisan Mba Okina Fitriani.
Kita mulai ya… ;)
Mengapa
penting mempelajari ilmu parenting?
Pertanyaan
ini dilontarkan oleh Mba Cita pertama kali di dalam membuka materi hari ini.
Mengapa kita harus repot-repot belajar tentang ilmu pengasuhan anak? Jawabannya
simple: Karena “anak adalah tamu istimewa yang kita undang untuk hadir di dalam
kehidupan kita atas kehendak dan persetujuan Tuhan.” Ibarat jika rumah kita
akan kedatangan tamu seorang mentri misalnya, pasti kita sebagai tuan rumah
akan melakukan service secara total,
mulai dari membereskan rumah kita, menyiapkan apa yang akan disuguhi kepada
sang tamu, mempersiapkan kegiatan apa yang harus dilakukan, dan sebagainya. Nah…
sama dengan anak kita… Mereka adalah tamu yang telah kita undang dengan cinta
atas kuasa dan kehendak Allah SWT. Maka dari itu, dalam “menjamu” tamu istimewa
ini sudah sepantasnya kita dibekali ilmu sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh Yang Maha Menghadirkan tamu tersebut. Jika tamu biasa paling hanya
dua-tiga hari hadir di dalam kehidupan kita, maka tamu istimewa ini hadir bisa
sampai belasan hingga puluhan tahun lamanya di dalam hidup kita. Jadi kebayang
donk betapa perlunya persiapan baik dalam tataran konsep keilmuan maupun praktiknya?
Apalagi tamu istimewa inilah yang akan langsung kita pertanggungjawabkan di
hadapan Allah SWT.
Persiapan
ilmu ini begitu penting karena sejalan dengan firman-Nya di dalam QS. At-Tahrim
ayat 6 yang berbunyi, “Wahai orang-orang
yang beriman, jauhilah diri-diri kamu dan juga ahli keluarga kamu daripada azab
api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu (berhala).”
Allah SWT sendiri yang menyuruh kita agar menjaga diri kita serta keluarga agar
terjaga dari siksa-Nya dan agar dapat masuk ke dalam syurga-Nya secara
bersama-sama. Dan ini hanya akan tercapai bila kita sebagai orang tua
mengetahui apa saja guideline di dalam mendidik anak dan keturunan kita.
Apalagi…
Tantangan
pengasuhan zaman sekarang begitu banyak dan berasal dari berbagai penjuru. Misalnya
tantangan yang berasal dari kemajuan teknologi. Ibarat koin, teknologi ini
memiliki dua sisi yang berdampingan: sisi manfaat dan sisi madharat. Manfaat
teknologi sudah jelas, ia dapat membantu kehidupan kita menjadi lebih mudah dan
ter-upgrade ke level yang lebih baik.
Tapi di sisi lain, kemajuan teknologi ini pun memiliki dampak negatif yang
disisipi untuk merusak generasi kita dan anak-anak kita. Misalnya saja, games atau permainan online yang
menanamkan nilai-nilai bully,
penyiksaan, kekerasan, pornografi dan pornoaksi, serta nilai-nilai buruk
lainnya kepada anak kita yang mungkin tidak kita sangka. Sebagai contoh, ada
sebuah games “teddy bear” yang kesannya
lucu dan aman, tapi ternyata malah mengajarkan tentang penyiksaan. Belum lagi
jika kita menggunakan engine machine
alias mesin pencarian kata kunci di internet, kadang hasil pencariannya
seringkali malah mempromosikan konten-konten negatif seperti pornografi dan
pronoaksi. Belum lagi aplikasi gratis yang kita unduh bahkan Al-Quran ternyata
disisipi iklan-iklan porno yang merusak. Ada pula group-group online yang memprovokasi
tindakan serta aksi LGBT : bahwa LGBT adalah hal lumrah dan normal, ia bukanlah
sebuah penyakit… Padahal jelas sekali apa yang telah dijelaskan Al-Quran tentang
masalah ini.
Kemudian…
Mba
Cita menyuguhkan beberapa gambar para anak dengan wajah tidak peduli pada saat
dinasihati oleh orang tua mereka, atau bahkan mengangkat tangan dengan maksud “talk to my hand” kepada orang tua
mereka… This happens a lot when children
have no attention to what their parents tell and even have no respect towards
their parents. Ternyata hal ini bisa disebabkan oleh absennya “rapport” alias kedekatan dan koneksi
hati di antara anak dan orang tua mereka. Kalau koneksi ini tidak terbangun,
maka sudah pasti komunikasi antara orang tua dan anak akan gagal. Bagaimana
bisa orang tua meng-install nilai-nilai baik untuk anak kita jika cara
berkomunikasinya saja salah sehingga selalu menimbulkan kontra alias perlawanan
dari anak mereka?
Maka penting sekali sebagai orang tua untuk
membekali diri kita ilmu yang dapat membantu kita di dalam mendidik serta
mengasuh anak kita agar apapun tantangan yang dihadapi, anak kita telah
ter-install nilai serta pemahaman yang baik untuk memfilter apa yang mereka
hadapi. Pertanyaan-pertanyaan ini mesti kita ketahui jawabannya: Sudah
siapkah kita? Sudahkah kita punya ilmunya? Sudahkah ilmu tersebut memadai? Sudahkah
kita punya penangkalnya? Sudahkah kita tau cara menanganinya? Apakah kita
sumber terpercaya? Sudah bisakah kita membuat anak fokus pada solusi?
Kekeliruan Pengasuhan
Mba
Cita kemudian menjelaskan ada beberapa kesalahan orang tua dalam metode
pengasuhan terhadap anaknya. Kesalahan-kesalahan ini ternyata akan membentuk
sebuah vicious circle alias lingkaran
setan yang harus segera diputus jika kita tidak mau kesalahan tersebut
berlarut-larut hingga menjadi sebuah labirin yang tidak ada jalan keluarnya.
Apa sajakah itu?
Pertama, tidak mengambil tanggung
jawab. Artinya kita selalu menyalahkan pihak lain atas suatu kejadian. Misalnya
saat anak terjatuh, yang disalahkan adalah lantai. Hal ini akan berdampak pada karakter
anak yang nanti suka menyalahkan orang lain. Padahal anak yang terjatuh
sejatinya dapat diingatkan agar lain kali ia harus lebih berhati-hati, bukan
karena salah orang lain.
Kedua, memberikan kisah-kisah
yang tidak mendidik. Misalnya kita menceritakan kisah “Si Kancil” yang dimana
tokoh kancil ini licik, pintar menipu orang lain untuk mencapai tujuannya,
serta hal-hal negatif lainnya. Istilahnya “Kancil itu pintar karena ‘minterin’
orang lain.”. Padahal akan lebih baik jika kita menceritakan kisah-kisah yang
penuh hikmah kebaikan, seperti kisah teladan Rasulullah SAW dan para sahabat
sesuai dengan bahasa anak yang dapat mereka mengerti.
Ketiga, Berbohong. Seringkali
orang tua membohongi anak hanya untuk membuatnya senang, padahal sejatinya
berbohong ini tidak akan membuahkan kebaikan bagi anak. Misalnya, orang tua
berbohong dengan mengatakan tidak akan pergi meninggalkan anak agar anak tidak
menangis. Padahal kemudian orang tua pergi diam-diam saat anak tidak
menyadarinya.
Keempat, Labeling. Mba Okina di
dalam bukunya menjelaskan bahwa labeling
adalah menempelkan kata sifat tertentu sebagai identitas. Misalnya kita melabelkan
anak kita sebagai “Si Pemalas” atau “Si Nakal”. Padahal label ini amat
berbahaya karena ia dapat menjadi doa, dan doa dapat menjadi kenyataan. Tidak
hanya pada anak, kita pun tidak boleh melabelkan diri kita dengan suatu yang negatif
seperti, “Aku ini si orang tua gagal.” Karena ini akan menciptakan sebuah limiting belief alias keyakinan yang
tidak memberdayakan sehingga malah menjadi kenyataan pada diri kita.
Kelima, Tidak melakukan empat hal
ajaib yaitu: meminta maaf, berterima kasih, menunjukkan kasih sayang, serta
memuji perilaku baik anak. Terkait dengan memuji, ada pedoman bagaimana orang
tua memuji yang efektif yaitu: Pertama, puji perilaku, usaha, dan sikapnya,
bukan karakteristik orangnya. Kedua, nyatakan konsekuensi positif dari perilaku
tersebut. Ketiga, nyatakan dalam kalimat sederhana yang mudah dipahami.
Keempat, tanamkan keimanan untuk siapa/apa dia memelihara perilaku baik itu.
Contoh
memuji yang efektif : “Afifa bagus sekali
sudah buang sampah di tempatnya, rumah kita jadi bersih. Allah suka lho dengan
kebersihan, karena kebersihan sebagian dari iman.”
Contoh
memuji yang tidak efektif : “Afifa cantik
pinter, anak Mamah paling hebat sedunia. Nah kaya gini ya, jangan kaya kemarin
buang sampah sembarangan.”
Pujian
ini tidak efektif karena : kita memuji karakter, berlebihan, dan mengungkit
kesalahan yang lalu.
Keenam, fokus pada kekurangan
anak, suka mencela, dan suka mengeluh. Kekeliruan ini seringkali terjadi akibat
orang tua jarang melakukan empat hal ajaib pada poin sebelumnya sehingga orang
tua lebih sering berfokus pada kekurangan anak mereka. Misalnya, saat seorang anak
mengeluh mendapatkan nilai empat dari sepuluh, orang tua cenderung melihat “Kamu salah enam.” Bukannya “Kamu sudah benar empat.” Sehingga akan
berujung pada menegur serta mencela anak yang tidak pada tempatnya. Padahal
sama halnya dengan memuji, menegur pun ada prinsipnya agar menjadi teguran yang
efektif, yaitu sebagai berikut :
ü
Tegur perilakunya, bukan karakter orangnya.
ü
Katakan secara tepat apa kesalahan perilakunya.
ü
Katakan pada anak bahwa dia mampu memperbaiki
diri dan pernah lebih baik dari itu.
ü
Tidak mengungkit kesalahan yang lalu.
ü
Tetap cintai orangnya.
Ketujuh, mengancam tapi tidak
melakukan alias ancaman kosong. Hal ini akan berakibat fatal yaitu anak akan
menggampangkan ucapan dan peringatan dari orang tuanya. Misalnya, “Kalau nangis terus, nanti Mamah tinggal ya
sendirian.” Kenyataannya, anak tersebut tidak ditinggal meski terus
menangis. Atau, “Kalau berantem terus,
iPadnya Papah buang ya.” Tapi iPadnya tidak kunjung dibuang meski anak
berantem terus.
Kedelapan, menanamkan keyakinan
yang salah, termasuk menakut-nakuti. Misalnya, “Kalau kamu nakal terus nanti disuntik dokter.” Hal ini buruk karena
mengasosiasikan peran dokter dengan sebuah konsekuensi kenakalan. Kasian dokter
jadi kambing hitam.
Kesembilan, menyuapi solusi. Agar
urusan dan masalah anak segera selesai, orang tua cenderung menyuapi solusi dari
permasalahan anak. Padahal, sebaiknya sikap orang tua hanya membimbing dan
memberikan kesempatan kepada anak untuk menemukan solusi atas permasalahannya
sendiri. Pertanyaannya, mau sampai kapan anak akan terlalu bergantung pada
orang tua? Bagaimana anak memecahkan masalahnya jika orang tua sudah tidak ada?
Kesepuluh, pembiaran terhadap
hal-hal yang salah. Misalnya anak mencontoh perkataan yang kurang baik dari
temannya. Tentu saja sebagai orang tua kita tidak boleh membiarkan anak kita
melakukan itu. Tegur secara efektif perilaku tersebut dengan menggunakan prinsip
pada poin keenam sebelumnya. Karena pembiaran pada hal-hal yang salah akan memberikan
peluang masuknya perilaku tidak pantas pada karakter anak kita.
Kesebelas, fokus pada dunia. Seringkali
orang tua mengajarkan orientasi dunia semata kepada para anak. Misalnya
merekomendasikan sebuah cita-cita pada anak agar anak menjadi orang kaya secara
materi, tanpa ada embel-embel kebermanfaatan serta untuk apa/siapa kekayaan itu
didapatkan. “Jangan jadi X gajinya kecil,
mending jadi Y gajinya gede, nak.” Hal yang sama pun seringkali terjadi
saat orang tua berkata, “Ayo jangan tidur kemalaman, nanti terlambat sekolah.”
Tapi membiarkan anak-anak terlambat bangun shalat subuh dengan alasan yang
penting tidak terlambat sekolah. Kebayang kan bagaimana mungkin visi “akhirat”
akan dicapai jika orang tua sendiri hanya mengorientasikan segala aktivitas dan
kegiatan anak hanya untuk dunia semata…
Nah
demikian sesi dari Mba Cita saya rangkum dengan menambah referensi dari buku
Mba Okina. Semoga bermanfaat yaa… InsyaAllah penjelasan dari Mba Iwed dan
sharing pengalaman dari Mba Iranty akan ditulis pada bagian selanjutnya ya.. J Stay tune…
Alhandulillah.. senangnya membaca tulisan ini. ilmu yang dusampaikan. seluruhnya "nancep" sehingga bisa disampaikan ditulisan ini dengan gamblang. kami tunggu ulasan bagian selanjutnya ya. terimakasih Mbak...
ReplyDeleteMba Iwed MasyaAllah terima kasih sudah baca..
DeleteIni link yang kedua-nya, tapi belum selesai juga karena keterbatasan waktu saya. InsyaAllah akan saya lanjutkan kembali. Makasih ilmunya ya Mba :)
http://qurrohayuniyyah.blogspot.co.id/2017/03/seminar-parenting-komunikasi-efektif_11.html
Assalamu'alaikum Qorry...
ReplyDeleteSubhanallah lanjutkan menulisnya...
Inspiratif sekali...
waalaikumsalam ande.. makasih ya udh baca :") insyaAllah diniatkan untuk trs menulis..
Deletekeren tulisannya .. review lagi materi class kemaren ..
ReplyDeleteterima kasih sudah baca :) materi lainnya sebanyak 3 bagian lain sudah sy post jg. silahkan lihat di home saya
Delete