MasyaAllah
walhamdulillah, respon notulensi saya tentang seminar bagian 1 kemarin luar
biasa. Jadi semangat untuk melanjutkan catatan materi yang telah disampaikan
oleh ketiga pembicara secara lengkap dan utuh.
Ada
pepatah yang mengatakan, “Ikatlah ilmu dengan tulisan.” Pepatah ini benar adanya.
Kadangkala saat ilmu hanya didengar saja, seringkali di kemudian hari ilmu
tersebut terlupakan begitu saja. Maka agar ilmu ini lebih menempel dan bahkan
dapat dinikmati oleh lebih banyak orang, seharusnya saya tuliskan dan saya
bagikan kepada orang banyak agar menjadi ilmu yang bermanfaat. Setuju?
Prinsip Parenting
Bagian
akhir dari materi yang disampaikan oleh Mba Chita adalah tentang prinsip
parenting secara umum, yaitu sebagai berikut :
Pertama, menjaga potensi baik
(fitrah). Setiap anak dilahirkan dengan keadaan memiliki fitrah yang baik.
Allah SWT telah meniupkan ruh ketauhidan dalam setiap jiwa manusia sebelum
mereka dilahirkan (lihat QS. Al-A’raf ayat 172). Fitrah baik inilah yang mesti
dijaga dan diarahkan agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang
Allah SWT inginkan. Mba Okina di dalam bukunya menjelaskan bahwa pintu pertama
dan utama dari fitrah manusia adalah keimanan serta keyakinan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Sejatinya inilah yang akan mengarahkan tentang apa tujuan hidup
manusia di dunia ini… Untuk siapa mereka hidup? Untuk apa mereka hidup? Sehingga
dengan adanya keyakinan yang benar ini, maka pertanyaan-pertanyaan mendasar
tentang kehidupan akan dapat terjawab. Hidup dan kehidupan sejatinya adalah untuk
ketaatan kepada-Nya. Jadi, potensi baik dapat terealisasi baik melalui keimanan
dan ter-refleksi pada ketaatan. Jadi antara iman dan taat ini merupakan dua
bagian yang tidak dapat dipisahkan.
Nah..
bermula dari pintu ini, maka pengasuhan dan pendidikan bagi anak kita sejatinya
harus difokuskan pada tiga hal yaitu bersyukur,
bertumbuh menjadi lebih baik, serta kebermanfaatan. Bersyukur akan
membuat kita memandang segala sesuatu dari sisi positif. Bertumbuh menjadi
lebih baik sejatinya kita berusaha untuk membuat diri kita lebih baik menurut
versi kita. Artinya kita tidak membandingkan diri kita dengan orang lain, tetapi
kita membandingkan diri kita dengan diri kita sebelumnya. Apakah diri kita bisa lebih baik dari hari kemarin? Kebermanfaatan merupakan sebuah kualitas
terbaik dari seorang manusia sebagai makhluk sosial, sesuai dengan hadist
Rasulullah SAW yang berbunyi, “Sebaik-baiknya
di antara kamu adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”. Jadi,
menjadi sholeh/sholehah secara pribadi saja belum cukup, tetapi sholeh/sholehah
secara sosial yang akan menyempurnakan peran kita sebagai hamba-Nya dan
khalifah-Nya di dunia ini. Ibarat air wudhu, syaratnya tidak hanya suci, tapi
ia juga harus dapat mensucikan. Maka, menjadi sholeh dan muslih (mensholehkan) merupakan
dua tujuan yang harus dicapai.
Dalam
menjaga fitrah atau potensi baik anak ini, sejatinya peran orang tua adalah
menjadi teladan (role model) yang
baik bagi anak. Anak mungkin salah mendengar, tapi ia tidak mungkin salah
meniru. Maka jika kita ingin anak kita dapat menghafal Al-Quran, maka tunjukan
dulu sebagai orang tua pun kita berusaha menghafal Al-Quran. Jika kita ingin
anak kita rajin shalat, maka jadilah dulu sebagai orang-orang yang menjaga
shalat. Apa yang diharapkan dari anak untuk menjadi ahli ibadah, tapi sebagai
orang tua kita ibadahnya saja masih bolong-bolong? #makjleb. Selain itu, peran
orang tua juga adalah mengingatkan (yang bukan didasarkan atas emosi dan hawa
nafsu), menjaga serta memperbaiki ketika anak melangkah pada alur yang keliru.
Ingat lagi cara memuji dan menegur yang efektif pada bagian sebelumnya. Peran
inilah yang sejatinya diperlukan orang tua di dalam menjaga fitrah baik anak: menjadi
teladan, mengingatkan, menjaga dan memperbaiki.
Kedua, kasih sayang dan kelembutan.
Ternyata di dalam mendidik anak diperlukan kasing sayang dan kelembutan. Ingat,
lembut bukan berarti tidak bisa tegas pada anak atau membiarkan anak ya :D Kelembutan
dan kasih sayang ini amat penting sebagai dasar penanaman dan pembenahan akhlak
anak. Kebayang kan, gimana bisa kita memperbaiki perilaku anak kalau yang
mereka terima dari kita adalah teriakan, makian bahkan kontak fisik yang tidak
mendidik? *hiks… :( What can we expect
from our kids when we are evil and show no affection towards them?
Ketiga, sabar. Mba Chita
menjelaskan bahwa sabar di dalam mendidik anak berarti kita menikmati segala
prosesnya. Artinya, mendidik anak ini bukan sebuah hal yang instan. Tidak ada
yang namanya mendadak dalam mendidik. Ia sejatinya merupakan sebuah proses yang
panjang bahkan terjadi seumur hidup kita. Selama anak kita masih bersama kita
di dunia, selama itu pula proses mendidik dan mengasuh anak (tentunya sesuai
dengan tahapan usia anak) kita emban sebagai amanah yang akan kita
pertanggungjawabkan kelak di hadapan-Nya. Mba Okina di dalam bukunya pun
menjelaskan bahwa sabar di dalam mendidik anak berarti tidak mengedepankan
emosi, nafsu, dan ego kita sebagai orang tua. Misalnya saat menyuruh solat anak
kita yang belum akil baligh, kita mengatakan, “Pokonya shalat itu wajib, kalau engga kamu masuk neraka.” karena
ketidaksabaran kita di dalam mendidik anak kita untuk shalat. Padahal, anak
yang belum akil baligh tidak menanggung dosa sehingga mereka tidak akan masuk
neraka. Kenalkan konsep syurga dan neraka saat mereka telah siap dan memiliki
pemahaman yang baik (menjelang akil baligh). Tanamkan konsep kecintaan mereka
kepada Tuhan mereka, bahwa Allah SWT akan mencintai hamba-Nya yang taat
kepada-Nya, sehingga apa yang tertanam di dalam benak dan hati mereka yang pertama
kali adalah Allah SWT itu Maha Baik, Maha Penyayang, Maha Pengasih, Maha Indah,
dan lain sebagainya, agar mereka melakukan suatu kewajiban atas dasar kecintaan
mereka kepada-Nya.
Keempat, konsisten dan kongruen.
Konsisten berarti kita teguh dan fokus pada tujuan, melakukan hal tersebut
secara terus menerus. Sedangkan kongruen artinya adalah selaras. Mba Okina di
dalam bukunya menjelaskan bahwa konsisten dan kongruen di dalam mendidik anak berarti orang tua harus senantiasa “berfokus di dalam menjaga serta
mengembangkan fitrah dan potensi baik anak dengan cara menjadi teladan,
senantiasa mengingatkan serta memperbaiki.” Konsisten dan kongruen ini sangat
penting karena lagi-lagi karena mendidik adalah proses yang amat panjang. Konsisten
juga bukan berarti kita hanya menggunakan cara yang itu-itu saja, kita harus
kreatif menemukan cara yang baik dan segar di dalam mendidik anak kita. Kongruen
pun bermakna apa yang kita ucapkan, perintahkan maupun larang kepada anak-anak
kita, harus pula kita sesuaikan dengan perilaku kita. Misalnya, “Adek, udah
jangan main handphone aja…” tapi kita ngasih taunya sambil main handphone
secara intens. What can we expect from
that? :D
Tepat
pukul 10.00 pagi Mba Chita menutup presentasinya dengan berkata, “Yang paling penting dari orang tua adalah
keinginan untuk berubah dan mau belajar. Don't label ourselves with negativity.” Terima kasih Mba Chita atas
ilmunya :’) Doakan agar kami bisa mengaplikasikan ilmu ini yaa…
Kami
pun break sekitar 15 hingga 20 menit untuk menikmati snack, teh dan kopi yang
telah disediakan panitia sekaligus dibagikan doorprize bagi peserta. Sekitar
jam 10.20 pun diskusi dilanjutkan oleh Mba Iwed dengan topik yang menarik dan
aplikatif di dalam keseharian kita. Gimana masih semangat baca? :D
Tentang Otak Manusia
Mba
Iwed pertama kali menjelaskan bahwa otak manusia adalah anugerah dari Allah SWT
yang membedakannya dengan makhluk lain. Selain hati kita, otak merupakan pusat
dari segala pengendalian yang ada di dalam diri kita. Mba Iwed menjelaskan secara
umum otak terdiri dari empat bagian utama. Pertama adalah bagian belakang bawah
otak kita dinamakan Reptilian Brain yang
sifatnya instingsif. Maksudnya adalah insting dalam merespon lapar untuk makan,
ada bahaya kita melindungi diri, memiliki keinginan terhadap sesuatu kemudian kita
ambil, dikendalikan oleh otak bagian Reptilian
Brain ini. Makanya kalau kita sebagai manusia kerjaannya hanya makan
kemudian mau ambil sesuatu aja, mungkin kita bisa disamakan dengan buaya dan
uler. Hehehhe… :D Kedua adalah otak yang terletak di bagian tengah yang disebut
dengan Mammal Brain alias otak
mamalia. Otak ini bergungsi di dalam mengendalikan emosi seperti kasih sayang,
pengolahan indra serta ingatan jangka pendek. Ketiga, otak bagian atas yang
disebut dengan Primate Brain atau
otak primata, tempat dimana kecerdasan berada. Otak ini berfungsi untuk
berpikir, menganalisa, serta ingatan jangka panjang. Terakhir, otak bagian
depan yang disebut dengan prefrontal
cortex atau yang disingkat sebagai PFC. PFC inilah yang membedakan manusia
dengan makhluk lain karena ia berfungsi di dalam mengontrol moral, menunda
keinginan, berempati, serta olah bahasa. Nah pada anak, banyak saluran-saluran
dari PFC ini yang belum terkoneksi secara sempurna sehingga perlu stimulus untuk
memfungsikannya secara sempurna. Tugas para orang tua-lah yang membimbing agar anak-anak
kita dapat memfungsikan otak PFC ini, agar fitrah baik anak dapat terjaga dan
bertumbuh dengan sebaik-baiknya. Masya Allah yaa :’)
Developmental
Stages
Setelah
menjelaskan tentang bagian otak manusia beserta fungsinya, Mba Iwed menyuguhkan
beberapa video kepada para peserta mengenai tahapan tumbuh kembang anak mulai
dari usia 0 hingga remaja. Duh saya merasa terharu saat menonton video itu. Ada
banyak kesalahan dari pola asuh saya kepada Afifa saat ia berusia 0-2 tahun :’(
Maafkan Mama ya nak…
Di
dalam slide dijelaskan bahwa usia 0 hingga 2 tahun disebut dengan “Delta Stage” dimana yang dihighlight
dari perkembangan anak pada usia ini adalah bagian motor sensorik-nya, alias penajaman
indra. Jadi anak pada usia ini berusaha memahami segala sesuatu dengan indra. Wajar
banget kalau anak-anak di usia ini apa-apa dimasukin ke mulut, dicium,
diremes-remes karena memang itulah developmental
stage yang mereka lalui: memahami apapun dengan inderanya. Jadi inget dulu kami
suka kasih makan burung yang ada di kampus dengan beras, sebelum memberikan
beras ke burung-burung, Afifa dengan enaknya makan dulu berasnya. Hihihi…
Penasaran kali ya… :D Selain itu, anak usia 0-2 tahun tidak pernah mengenal
gagal atau takut gagal. Makanya saat belajar jalan kemudian terjatuh ia akan
bangun lagi kemudia coba lagi hingga menjadi mahir berjalan…
Anak
usia 2-6 tahun memasuki tahap “Theta
Stage” atau disebut juga masa “pre-operational”. Anak-anak pada usia ini
akan memahami bahasa dan simbol-simbol. Mereka akan cenderung imajinatif (belum
bisa membedakan kenyataan dan imajinasi), banyak bertanya, egosentris (ingin
selalu menjadi pusat perhatian para orang tua-nya), serta mulai membentuk
kepercayaan diri. Maka peran orang tualah yang bertanggung jawab terhadap belief (keyakinan) serta values (nilai) apa yang ingin ditanamkan
pada pikiran bawah sadar mereka. Mba Okina di dalam bukunya menjelaskan bahwa tahapan
ini merupakan tahapan emas untuk menanamkan keyakinan. Orang tua sudah
semestinya meluangkan waktu sebanyak-banyaknya untuk menanamkan keimanan di
dalam diri anak kita. Hubungkan segala sesuatu dengan kasih sayang Tuhan.
Misalnya kita ajak anak kita pergi ke taman, lalu kita bisa sambil berkata, “Alhamdulillah ya sayang Allah Maha
Menyayangi kita, kita bisa melihat dengan mata sehingga kita tahu bunga-bunga
yang berwana merah dan kuning, sungguh indah…” Jadi jangan sampai keliru
untuk menanamkan nilai-nilai penting pada usia ini.
Tahap
selanjutnya adalah “Alpha Stage” atau
yang disebut juga “Concrete Operational”
yang merupakan anak-anak dalam rentang usia 6-12 tahun. Pada usia ini anak-anak
akan berusaha menemukan solusi atas masalah yang dihadapinya secara sederhana (problem solving) berdasarkan peta dalam
pikirannya. Nah peta (map) di dalam pikirannya ini mulai dipengaruhi oleh
sumber lain. Peran orang tua disini adalah memahami serta melakukan pemetaan
kembali (remapping) pada pemikiran
anak jika diperlukan. Oleh karena itu, Mba Okina di dalam bukunya menggarisbawahi
betapa pentingnya ikatan dan kepercayaan anak pada orang tua yang terbentuk
pada tahapan sebelumnya (Theta Stage).
Ini akan menentukan apakah anak anak lebih memilih mematuhi pengaruh orang
tuanya atau malah justru lebih terpengaruh oleh lingkungan luar?
Tahap
terakhir dinamakan “Beta Stage” atau
“Formal Operational” bagi anak-anak
di atas usia 11 atau 12 tahun. Pada usia ini anak-anak akan mulai dapat diajak
berdiskusi dan mulai mengaplikasikan “defense mechanism” dalam rangka menutupi
kekurangannya. Inilah periode awal aktualisasi diri dan saat yang amat penting
untuk mulai menentukan goals. Disinilah mungkin akan mulai ada adu
argumentasi antara anak dan orang tua. Namun, selama orang tua mampu
menjalankan perannya sebagai role model
(teladan) terbaik bagi anaknya, maka masa ini akan menjadi masa-masa yang
menyenangkan karena akan ada diskusi menarik seperti diskusi dengan sahabat,
serta anak sudah mulai dapat bertanggung jawab atas tugas pribadinya. Maka
koneksi hati alias rapport harus
terbangun sedini mungkin antara orang tua dengan anaknya. “Anak adalah peniru ulung. Jadikan diri Anda
model terbaik untuk ditiru, yang bisa dilihat, didengar, dan dirasakan langsung
olehnya.”
Mba
Iwed pun menyuguhkan sebuah video yang sangat membekas, bagaimana anak menjadi cerminan
perilaku dari orang tuanya. Orang tua yang membuang sampah sembarangan, anaknya
pun membuang sampah sembarangan. Orang tua yang sumpah serapah pada orang lain,
anaknya pun seperti itu. Dan banyak lagi berbagai kebiasaan buruk anak akibat
meniru “plek plek” orang tuanya. Di akhir video itu ditulis, “Children see. Children do.” Hiks… air
mata saya meleleh deh :’(
Peran Ayah
Nah
kemudian Mba Iwed menjelaskan pada tahapan-tahapan perkembangan anak, peran
Ayah amatlah penting. Jika ibu disebut sebagai “madrasah pertama bagi anak” (al-madrasatul al aula), maka ayah
adalah kepala sekolah yang menentukan visi dan misi sekolahnya, apa saja
kurikulum yang akan dijalankan sekolahnya, apa tujuan sekolahnya, dan hal-hal
penting lainnya. Maka wajar jika diibaratkan kapal, Ayahlah yang menjadi
nahkoda pemegang kemudi yang menentukan kemana kapal akan berlayar. Jadi, tugas
pendidikan anak adalah tugas berdua yang sama penting dan krusialnya yang
diemban oleh Ayah dan Ibu. Maka, perbaiki diri bukan hanya sang Ibu, tapi sang
Ayah pun harus mau memperbaiki diri.
Mba
Iwed menjelaskan bahwa banyak studi ilmiah yang membuktikan pentingnya koneksi
antara Ayah dan anak. Misalnya penelitian dari Father Involvement Development, New York menemukan bahwa anak yang
merasa dekat dan dicintai ayahnya, cenderung memiliki masalah perilaku yang
sedikit dan bahkan menunjukkan keengganan untuk mengkonsumsi alcohol dan
obat-obatan terlarang. Juga Wenk, D et al
(1994) membuktikan di dalam penelitiannya bahwa peran ayah akan berdampak pada
kepercayaan diri anak, kepuasan hidup anak, less-stress
pada anak, serta memunculkan keberanian anak untuk melakukan hal-hal positif.
Makanya Mba Iwed bahagia sekali pada saat seminar kemarin ada beberapa orang
Ayah yang ikut serta di dalam menimba ilmu parenting tersebut… *Papa Afifa
nanti kita sharing ilmu yaa :’)
Jika
kondisi yang mengharuskan suami dan istri harus berjauhan (seperti LDM atau meninggal
atau bercerai), maka harus ada sosok lain pengganti yang dapat mengisi sosok
Ayah di dalam kehidupan anak kita. Misalnya kakeknya, om-nya, dan lain
sebagainya. Intinya jangan sampai anak tidak mendapatkan dan menemukan sosok
Ayah di dalam hidupnya. Saya jadi berpikir dan sadar mengapa begitu Rasulullah
SAW sangat mencintai anak-anak yatim dan bahkan menjamin posisi yang berdekatan
di syurga bagi orang-orang yang memperhatikan dan mencintai anak-anak yatim.
Karena bagaimanapun, sunatullahnya anak memerlukan sosok Ayah di dalam
kehidupannya… Ya Allah, betapa sempurnanya ajaran-Mu… :”)
Baik
sepertinya tulisan bagian 2 ini saya cukupkan dulu ya. Nanti insyaAllah saya
lanjutkan lagi penjelasan dari Mba Iwed mengenai Lima Pilar Komunikasi serta Hypnotic Language Pattern, dan tentu
saja sharing dari Mba Iranty mengenai
pengalaman beliau di dalam mendidikan anak remajanya yang berusia 16 tahun saat
ini. Stay tuned ya ;)
terimakasih tulisannya yang lengkap dan terstuktur, semoga banyak yg baca dan makin tersebarlah ilmu Enlightening Parenting bagi para orangtua dimana pun berada. di tunggu lanjutannya ya
ReplyDeletesama2 mba iwed :) moga silaturahim terus terjaga ya..
DeleteBagus sekali mba, saya banyak belajar. Terima kasih
ReplyDeleteterima kasih mba titi :) semoga bermanfaat..
Deleteterima kasih share nya ..
ReplyDeletesama2 mba emily. semoga bermanfaat ya :)
Delete