Istikharah dan
Musyawarah yang Berkelanjutan
Waktu berjalan cepet banget pasca pertemuan di rumah guru
ngaji saya.
Pengen rasanya saya hentikan waktu. Tapi hal tersebut tidak
mungkin kan? Life goes on and we have to
move on.
Maka hal yang saya lakukan setelahnya adalah “laporan”
kepada keluarga tentang pertemuan saya dengan Hambari. Saya jelaskan detail
kepada mereka jawaban-jawaban beliau, karena ada beberapa pertanyaan “titipan”
dari Mamah saya. Tentu saja jawaban inilah yang akan memberatkan “iya” atau
“tidak” sebagai keputusan akhir.
Saya meminta keluarga saya terus bermusyawarah dan
istikharah agar saya diberikan yang terbaik. Dalam waktu bersamaan, saya pun
bertanya kepada 3 orang yang dapat saya percaya sebagai referensi tambahan
penilaian atas dirinya. Ini penting, karena mereka adalah orang-orang yang
lebih kenal dekat dengan (calon) suami saya tersebut.
Saya memilih dua orang dari daftar referensi yang beliau berikan.
Saya memilih yang telah saya kenal, karena membuat saya lebih nyaman. Lalu saya
email mereka berdua. Apa jawaban mereka?
Kira-kira inilah jawaban mereka. Agak lupa-lupa inget sih,
tapi intinya seperti ini…
“Masya Allah Qorry.
Hambari adalah orang yang baik. Jika saya ditanya siapakah orang yang paling
saya cintai di IIUM ini, maka saya akan jawab, ‘Dia adalah Hambari..’.”
~Mr. X, dosen IIUM
“Hambari yang saya
kenal adalah seorang yang penyabar. Tidak pernah saya melihatnya tidak dapat
mengendalikan emosinya...” ~Mr. Y, karyawan di salah satu bank syariah di
Indonesia
Hmmm… Meski dua jawaban tersebut sangat positif, saya merasa
belum ‘puas’. Akhirnya saya cari referensi lain yang saya percayai. Seorang
perempuan yang saya tau seringkali kerja bareng dengannya di organisasi. Alhamdulillah… Darinya saya melihat gambaran
yang juga objektif tentang seorang Hambari ini. Apa kelebihannya, juga
kekurangannya. Sampai pada kesimpulan darinya, “Ka… Namanya pasangan justru bukannya lebih baik saling melengkapi ya?
Kalau satu ada kekurangannya, yang lain harusnya menyempurnakan.”
Tiga referensi saya dapatkan.
Masih rasanya belum yakin. Saya terus memohon kepada Allah
untuk dibukakan petunjuk-Nya. Ada perasaan takut. Takut salah pilih. Ada
perasaan ragu. Ragu apakah dia yang terbaik buat saya? Dilema rasanya…
Akhirnya saya bertanya kembali kepada Papah dan Mamah. Jika
mereka ridho, maka saya akan menerimanya. Bukankah ridho Allah ada pada ridho
kedua orang tua?
Lalu apa jawaban mereka?
Kata Papah, “De, kalau Papah merasa Hambari ini orang yang
baik. Ditambah dia punya ilmu agama yang baik. Insya Allah dia akan bisa jadi imam
yang baik buat kamu…” Kata Mamah, “Kalau Mamah, ikut aja keputusan Dede. Mamah doakan
yang terbaik buat kamu, apapun itu.”
Saat itu hati saya pun berdoa…
“Ya Allah, inikah
petunjuk-Mu?
Inikah jawaban
dari-Mu?
Jika memang ia adalah
imam terbaik untukku, maka ridhoilah dan mudahkanlah langkah kami ke depan.
Aamiin…”
*Kemudian saya menangis
When I say, “I do.”
Akhirnya, pada hari Jumat tanggal 15 Maret, keputusan itu
bulat sudah. Ya… Insya Allah saya bersedia untuk melanjutkan proses ini ke
tahap lamaran dan pernikahan, dengan syarat :
1.
Saya ingin beliau bertemu dengan keluarga saya dulu
pada bulan April. Karena memang keluarga saya dengan formasi lengkap (termasuk
tiga bidadari Atqiya, Aufa, dan Amira) akan jalan-jalan ke KL pada bulan
tersebut. Rencana ini memang sudah dibuat jauh sebelum proses kami taaruf.
Kalau keluarga saya merasa sreg, maka insya Allah saya bersedia.
2.
Pernikahan tidak dapat dilangsungkan dalam waktu
dekat (satu atau dua bulan ke depan). Kedua orang tua saya perlu berbagai
persiapan. Karena bulan Oktober kami sekeluarga akan melaksanakan ibadah haji,
yang sudah direncanakan dua tahun sebelumnya. Kemungkinan pernikahan baru
dilaksanakan antara dua pilihan waktu: September atau Desember. Karena hanya di
dua bulan tersebut yang gedung kami inginkan kosong. Sisanya fully booked.
*Ps: Akhirnya pernikahan diputuskan tanggal
22 Desember 2013 setelah kami melaksanakan haji.
3.
Saya ingin tetap mengejar impian saya menjadi
dosen. Jadi jika di awal-awal pernikahan harus LDM (long distanced marriage), semoga beliau dapat menerimanya.
*Ps: meski akhirnya setelah berbagai pertimbangan,
saya ikut suami ke KL setelah menikah :p
Saya menginfokan ini kepada guru ngaji saya via email. Dan
akhirnya respon dari (calon) suami pun saya dapatkan. Beliau menerima semua
syarat yang saya ajukan. Masya Allah, saat itu perasaan saya campur aduk.
Antara bahagia dan deg-degan karena akan menikah. Tapi juga tetap saja ada
perasaan ragu. Tapi yang saya salut dari (calon) suami saya adalah sikapnya
yang sama sekali jauh dari ragu-ragu selama proses ini. “Mudah-mudahan Kau berikan yang terbaik, ya Rab.” begitu doa saya
dalam hati.
*to be continued
No comments:
Post a Comment