Saturday, 22 March 2014

Pernikahan (Part 3)


Istikharah dan Musyawarah yang Berkelanjutan

Waktu berjalan cepet banget pasca pertemuan di rumah guru ngaji saya.
Pengen rasanya saya hentikan waktu. Tapi hal tersebut tidak mungkin kan? Life goes on and we have to move on.

Maka hal yang saya lakukan setelahnya adalah “laporan” kepada keluarga tentang pertemuan saya dengan Hambari. Saya jelaskan detail kepada mereka jawaban-jawaban beliau, karena ada beberapa pertanyaan “titipan” dari Mamah saya. Tentu saja jawaban inilah yang akan memberatkan “iya” atau “tidak” sebagai keputusan akhir.

Saya meminta keluarga saya terus bermusyawarah dan istikharah agar saya diberikan yang terbaik. Dalam waktu bersamaan, saya pun bertanya kepada 3 orang yang dapat saya percaya sebagai referensi tambahan penilaian atas dirinya. Ini penting, karena mereka adalah orang-orang yang lebih kenal dekat dengan (calon) suami saya tersebut.

Saya memilih dua orang dari daftar referensi yang beliau berikan. Saya memilih yang telah saya kenal, karena membuat saya lebih nyaman. Lalu saya email mereka berdua. Apa jawaban mereka?

Kira-kira inilah jawaban mereka. Agak lupa-lupa inget sih, tapi intinya seperti ini…

“Masya Allah Qorry. Hambari adalah orang yang baik. Jika saya ditanya siapakah orang yang paling saya cintai di IIUM ini, maka saya akan jawab, ‘Dia adalah Hambari..’.” ~Mr. X, dosen IIUM

“Hambari yang saya kenal adalah seorang yang penyabar. Tidak pernah saya melihatnya tidak dapat mengendalikan emosinya...” ~Mr. Y, karyawan di salah satu bank syariah di Indonesia

Hmmm… Meski dua jawaban tersebut sangat positif, saya merasa belum ‘puas’. Akhirnya saya cari referensi lain yang saya percayai. Seorang perempuan yang saya tau seringkali kerja bareng dengannya di organisasi.  Alhamdulillah… Darinya saya melihat gambaran yang juga objektif tentang seorang Hambari ini. Apa kelebihannya, juga kekurangannya. Sampai pada kesimpulan darinya, “Ka… Namanya pasangan justru bukannya lebih baik saling melengkapi ya? Kalau satu ada kekurangannya, yang lain harusnya menyempurnakan.”

Tiga referensi saya dapatkan.
Masih rasanya belum yakin. Saya terus memohon kepada Allah untuk dibukakan petunjuk-Nya. Ada perasaan takut. Takut salah pilih. Ada perasaan ragu. Ragu apakah dia yang terbaik buat saya? Dilema rasanya…
Akhirnya saya bertanya kembali kepada Papah dan Mamah. Jika mereka ridho, maka saya akan menerimanya. Bukankah ridho Allah ada pada ridho kedua orang tua?

Lalu apa jawaban mereka?
Kata Papah, “De, kalau Papah merasa Hambari ini orang yang baik. Ditambah dia punya ilmu agama yang baik. Insya Allah dia akan bisa jadi imam yang baik buat kamu…” Kata Mamah, “Kalau Mamah, ikut aja keputusan Dede. Mamah doakan yang terbaik buat kamu, apapun itu.”

Saat itu hati saya pun berdoa…
“Ya Allah, inikah petunjuk-Mu?
Inikah jawaban dari-Mu?
Jika memang ia adalah imam terbaik untukku, maka ridhoilah dan mudahkanlah langkah kami ke depan. Aamiin…”
*Kemudian saya menangis

When I say, “I do.”

Akhirnya, pada hari Jumat tanggal 15 Maret, keputusan itu bulat sudah. Ya… Insya Allah saya bersedia untuk melanjutkan proses ini ke tahap lamaran dan pernikahan, dengan syarat :

1.     Saya ingin beliau bertemu dengan keluarga saya dulu pada bulan April. Karena memang keluarga saya dengan formasi lengkap (termasuk tiga bidadari Atqiya, Aufa, dan Amira) akan jalan-jalan ke KL pada bulan tersebut. Rencana ini memang sudah dibuat jauh sebelum proses kami taaruf. Kalau keluarga saya merasa sreg, maka insya Allah saya bersedia.
2.     Pernikahan tidak dapat dilangsungkan dalam waktu dekat (satu atau dua bulan ke depan). Kedua orang tua saya perlu berbagai persiapan. Karena bulan Oktober kami sekeluarga akan melaksanakan ibadah haji, yang sudah direncanakan dua tahun sebelumnya. Kemungkinan pernikahan baru dilaksanakan antara dua pilihan waktu: September atau Desember. Karena hanya di dua bulan tersebut yang gedung kami inginkan kosong. Sisanya fully booked.
*Ps: Akhirnya pernikahan diputuskan tanggal 22 Desember 2013 setelah kami melaksanakan haji.
3.     Saya ingin tetap mengejar impian saya menjadi dosen. Jadi jika di awal-awal pernikahan harus LDM (long distanced marriage), semoga beliau dapat menerimanya.
*Ps: meski akhirnya setelah berbagai pertimbangan, saya ikut suami ke KL setelah menikah :p

Saya menginfokan ini kepada guru ngaji saya via email. Dan akhirnya respon dari (calon) suami pun saya dapatkan. Beliau menerima semua syarat yang saya ajukan. Masya Allah, saat itu perasaan saya campur aduk. Antara bahagia dan deg-degan karena akan menikah. Tapi juga tetap saja ada perasaan ragu. Tapi yang saya salut dari (calon) suami saya adalah sikapnya yang sama sekali jauh dari ragu-ragu selama proses ini. “Mudah-mudahan Kau berikan yang terbaik, ya Rab.” begitu doa saya dalam hati.

*to be continued

No comments:

Post a Comment