Saturday, 22 March 2014

Pernikahan (Part 1)


Alhamdulillah… Hari ini, tepat 3 bulan saya dan suami menikah.
Waktu berjalan cepet banget rasanya. Padahal kaya baru kemarin riweuh ngurusin ini itu buat syukuran pernikahan kami.

Mau bilang ini untuk Suami :

“Selamat tiga bulan ya Suamiku… Semoga kita menjadi pasangan sakinah mawadah wa rahmah, tidak hanya di dunia ini, tapi kelak hingga syurga Firdaus-Nya nanti. Aamiin…”

“Terima kasih atas segala cinta, kasih sayang, penerimaan, pemakluman, dan kesabaran yang selama ini diberikan. Insya Allah, meski masih jauh, aku akan terus belajar memperbaiki diri dan menjadi istri yang shalihah. Aamiin…”

***

Oke… Seperti yang udah saya janjikan di blog sebelumnya, saya akan cerita tentang proses kami mulai dari perkenalan sampai akhirnya ke jenjang pernikahan. Tiada maksud lain, hanya sekedar berbagi. Mudah-mudahan dapat memotivasi. Aamiin…

Bismillah…

Sebelum Taaruf

Jadi, kisah ini berawal dari seseorang yang tiba-tiba menanyakan status saya pada bulan Februari tahun 2013.  Apakah saya available jika ada seorang ikhwan yang ingin melakukan taaruf? Karena memang saat itu posisi saya single and very happy, hehehe, ya udah saya jawab aja apa adanya kondisi saya pada saat itu.

Singkat cerita, proses pun dilanjutkan via guru ngaji. Ternyata… Ikhwan yang berniat taaruf itu bernama Hambari Nursalam. Hmm… Kaget juga dengernya. “Hambari? Kok bisa sih?” batin saya. Kami gak saling kenal secara personal. Ngobrol aja gak pernah.  Betul memang kami kerja bareng di 3 organisasi yang sama: Forum Tarbiyyah IIUM (beliau ketua, saya anggota divisi keputrian), UPZ Baznas cabang KL (beliau sekretaris, saya anggota divisi pendayagunaan), dan IAEI cabang KL (Saya di bendahara, kalau beliau apa ya? Hehehe lupa :p). Tapi intinya adalah meski gabung di 3 organisasi yang sama, gak pernah ada moment saya dan beliau kerja bareng secara langsung. Gak ada sms, pesan pribadi, atau apapun itu untuk koordinasi tentang kerjaan. Karena kami memang ada di bidang yang berbeda. Ketemu pun hanya saat rapat besar, itu pun gak pernah saling sapa atau ngapain gitu… (Emang mau ngapain? ;p)

Awalnya agak ragu mau proses apa engga. Dilemaaaa banget.
Bukan apa-apa, he was a stranger to me.
Tapi untungnya, A Irfan, kakak pertama saya kenal beliau saat kuliah S3 di IIUM ini. A Irfan bilang, “Insya Allah Hambari adalah orang yang baik dan agamanya pun baik.” Kata A Irfan lagi, “Bismillah dicoba aja dulu Qorry, toh kan melakukan proses taaruf bukan berarti udah pasti sampe ke pernikahan.”

Iya juga ya… Dipikir-pikir, justru lewat taaruf inilah dari gak kenal menjadi kenal, sehingga bisa mengira-ngira apakah akan lanjut ke tahap selanjutnya atau cukup sampai di sini saja… *tsah… :p

Oke… Karena ada rekomendasi dari kakak sendiri (Suami, you owe a lot to my brother ;P), bismillah aja dicoba. Umur saya juga udah 25 tahun, sepertinya udah waktunya menikah. Kalau ga dimulai prosesnya, gimana mau menikah? Doa udah pasti. Tapi doa harus diaktulisasikan lewat ikhtiar, dan taaruf ini salah satu jalan ikhtiar. “Baik ka, insya Allah aku siap jalani proses taaruf ini.” kata saya akhirnya kepada guru ngaji saya.


Kenapa harus lewat Taaruf?

Ada satu doa yang selalu saya panjatkan sejak tahun 2012, “Ya Allah… Tolong tumbuhkan perasaan cinta dalam hatiku kepada seseorang yang halal buatku. Tolong tumbuhkan perasaan cinta dalam hatiku, yang membuat-Mu tidak cemburu. Dan tolong tumbuhkan perasaan cinta dalam hatiku yang terlandaskan oleh cintaku kepada-Mu.”

Saya gak bilang taaruf adalah jalan yang terbaik, karena setiap orang punya jalannya masing-masing untuk bertemu jodoh mereka. Tapi menurut saya pribadi, sepertinya berproses lewat cara seperti ini akan lebih menjaga hati dan pikiran saya. Sedari awal saya tetapkan bahwa tujuan saya menikah salah satunya adalah untuk ibadah dan dapatkan ridho Allah. Saya menginginkan proses menuju gerbang pernikahan pun adalah cara yang benar-benar Allah sukai. Gak bikin Dia cemburu. Gimana mau dapat ridho-Nya kalau dari awal aja udah bikin Dia cemburu. Iya kan?

Jadi, adegan butterfly effect inside my tummy, atau kumbang terbang di dalam hati bisa dieliminasi. Atau… adegan (maaf) pegang-pegangan tangan, atau bahkan lebih dari itu (naudzubillah himindzalik) bisa dihindari. Atau adegan patah hati karena salah satu pergi bisa diminimalisir.

Percayalah, saya bukan manusia yang sempurna.
Justru karena ketidaksempurnaan saya inilah menyampaikan saya pada tahap bagaimana saya memandang hubungan perempuan dan laki-laki yang ideal itu seperti apa.
Saya belajar. Saya introspeksi. Saya evaluasi diri. Atas segala kesalahan, kekurangan, dan kealpaan diri saya sebelumnya.

Dari usia saya remaja, saya selalu punya keinginan.
Saya ingin kelak tangan laki-laki pertama (selain Ayah dan keluarga tentunya :p) yang saya cium adalah tangan suami saya.
Saya ingin kelak laki-laki yang menggenggam tangan saya atau mengecup kening saya yang pertama kali adalah suami saya.
Saya ingin laki-laki yang menghapus air mata yang jatuh di pipi saya pertama kali adalah suami saya.
Saya ingin saya adalah wanita pertama baginya, dan dia adalah laki-laki pertama bagi saya.
Saya ingin menjaga itu semua.
Menjaga kesucian cinta.

Maka, proses taaruf inilah yang saya rasakan aman. Karena selalu ada pihak ketiga yang memantau. Bismillah… Proses ini pun kami jalani…

Bertukar CV

“CV? Emangnya mau lamaran kerja?”
Hampir semua orang punya pertanyaan tersebut. Termasuk kamu kan? Hehehehe…

Jawabnya, “Iya… Kan menikah itu bekerja seumur hidup.” #eeeaaaaaa :D

Jadi, tahapan pertama adalah kami bertukar CV. Tapi, CV bukan sembarang CV.
CV ini terdiri dari beberapa bagian. Pertama, biodata diri. Nah ini isinya hal-hal dasar dalam diri kita, kaya nama lengkap, alamat, golongan darah, riwayat pendidikan, pengalaman organisasi, sampai pengalaman kerja. Makanan favorit dan minuman favorit juga boleh dicantumin kok (hehehe jadi inget pas SD).

Kedua, data keluarga. Nama ayah, ibu, saudara kandung, saudara ipar, dan keponakan kalau ada. Hehehe… Saya cantumin nama Atqiya, Aufa, dan Amira juga soalnya :D Sekaligus pekerjaan keluarga hingga riwayat pendidikan mereka secara umum. Ini penting, karena pernikahan bukan sekedar menyatukan dua insan saja, tapi juga menyatukan dua keluarga.

Ketiga, riwayat kesehatan. Nah… Ini juga penting banget. Harus diisi dengan sejujurnya. Pernah sakit apa, tahun berapa. Karena kita inginnya pasangan kita adalah orang yang sehat secara lahir dan batin. Lalu kalau mau ditambah riwayat kesehatan orang tua kita juga boleh. Jadi kita tau kira-kira penyakit turunan yang mungkin akan dibawa.

Keempat, kelebihan dan kekurangan diri kita, menurut diri kita sendiri. Misalnya kita punya sifat manja, cengeng, cepet nangis, atau sangat sensitif *duh kesindir! Hehehe.. Ungkapkan apa adanya bagaimana kita menilai diri kita sendiri. Karena, calon pasangan kita ingin tau gambaran diri kita. Apalagi kalau kasusnya gak saling kenal. Kalau temen saya, bahkan dia mencantumkan pula gambaran dirinya menurut orang lain. Katanya biar calon pasangan dapat gambaran yang lebih objektif. Bisa juga idenya :)

Kelima, dan ini yang paling penting, tentang pernikahan itu sendiri. Cantumkan kriteria pasangan yang kita dambakan seperti apa. Tujuan menikah kita itu apa. Visi dan misi kita menikah itu bagaimana. Ini bisa jadi pertimbangan gambaran kelak rumah tangga akan dibawa kemana. Dari pemaparan seseorang tetang pernikahan, sedikit banyak kita akan mengetahui apa yang jadi dasar dia dalam berpikir dan bertindak.

Terakhir, daftar referensi beserta email dan nomor hape. Maksudnya adalah orang-orang yang dipercaya, yang bisa memberikan penilaian objektif tentang diri kita, jika calon pasangan ingin menanyakan lebih jauh tentang diri kita. Misalnya di list suami, beliau mencantumkan nama beberapa orang sabahatnya, sebagian saya kenal, sebagian lagi tidak.

Jadi… Yang bilang proses taaruf ibarat membeli kucing dalam karung sekarang bisa melihat kan? Justru proses perkenalan seperti ini menampilkan diri kita apa adanya. Gak boleh ada fake atau dusta. Harus jujur. Jujur apa adanya.

Lalu bagi yang ingin menikah, ini pun dapat dijadikan referensi. Sudahkan persiapkan CV pernikahannya? Siapkanlah… Insya Allah dengan menyiapkan CV pernikahan, merupakan salah satu bentuk aplikasi praktek dari niat kita.

Oke… Back to my story, sekitar awal bulan Maret, kami pun bertukar CV via guru ngaji kami masing-masing. Saya melihat proposal pernikahan beliau, dan beliau pun melihat proposal yang saya buat. Kalau saya, begitu saya mendapatkan CV beliau, saya langsung forward ke Mamah, Papah, dan Kakak-kakak saya. Saya ingin mereka terlibat dalam proses yang saya jalani ini. Ya iyalah… They are my significant people in my life. Their comments do matter to me. Bisa jadi bahan pertimbangan saya dalam memberikan keputusan. Bisa jadi bahan penilaian kami dalam bermusyawarah. Kan yang sedang taaruf ini akan menjadi calon keluarga mereka. Intinya, peran keluarga amat penting dalam proses taaruf ini. Jangan ditutup-tutupi atau disembunyikan. Catet ya, ini penting banget.

Dari bertukar CV, kami diberi waktu sekitar satu minggu untuk memutuskan apakah proses ini akan dilanjutkan ke tahap taaruf bertemu atau tidak. This is crucial. Makanya, saya libatkan keluarga di Bogor untuk ikut mengistikharahkan dan memusyawarahkannya. I let everyone in my family to ask Allah’s guidance. I want to attract His bless by attracting my family’s interests and tendencies. If they feel comfortable, I will continue the process. Otherwise, I will just say bye-bye to the guy. Hihi…

Akhirnya… Setelah istikharah tiada henti dan musyawarah dengan keluarga, saya pun memutuskan untuk melanjutkan dari tahap pertukaran CV ke tahap selanjutnya: Pertemuan langsung. Duh!

Penasaran ga denger kisah selanjutnya?
Tungguin cerita saya di bagian selanjutnya… Sengaja ah dibikin penasaran.. Hehehehe…
*padahal mah cape nulis

*to be continued

No comments:

Post a Comment