Alhamdulillah… Hari ini, tepat 3 bulan saya dan suami
menikah.
Waktu berjalan cepet banget rasanya. Padahal kaya baru
kemarin riweuh ngurusin ini itu buat syukuran pernikahan kami.
Mau bilang ini untuk Suami :
“Selamat tiga bulan ya
Suamiku… Semoga kita menjadi pasangan sakinah mawadah wa rahmah, tidak
hanya di dunia ini, tapi kelak hingga syurga Firdaus-Nya nanti. Aamiin…”
“Terima kasih atas
segala cinta, kasih sayang, penerimaan, pemakluman, dan kesabaran yang selama
ini diberikan. Insya Allah, meski masih jauh, aku akan terus belajar
memperbaiki diri dan menjadi istri yang shalihah. Aamiin…”
***
Oke… Seperti yang udah saya janjikan di blog sebelumnya,
saya akan cerita tentang proses kami mulai dari perkenalan sampai akhirnya ke jenjang
pernikahan. Tiada maksud lain, hanya sekedar berbagi. Mudah-mudahan dapat
memotivasi. Aamiin…
Bismillah…
Sebelum Taaruf
Jadi, kisah ini berawal dari seseorang yang tiba-tiba
menanyakan status saya pada bulan Februari tahun 2013. Apakah saya available jika ada seorang ikhwan
yang ingin melakukan taaruf? Karena memang saat itu posisi saya single and very
happy, hehehe, ya udah saya jawab aja apa adanya kondisi saya pada saat itu.
Singkat cerita, proses pun dilanjutkan via guru ngaji.
Ternyata… Ikhwan yang berniat taaruf itu bernama Hambari Nursalam.
Hmm… Kaget juga dengernya. “Hambari? Kok bisa sih?” batin saya. Kami gak saling
kenal secara personal. Ngobrol aja gak pernah.
Betul memang kami kerja bareng di 3 organisasi yang sama: Forum
Tarbiyyah IIUM (beliau ketua, saya anggota divisi keputrian), UPZ Baznas cabang
KL (beliau sekretaris, saya anggota divisi pendayagunaan), dan IAEI cabang KL
(Saya di bendahara, kalau beliau apa ya? Hehehe lupa :p). Tapi intinya adalah
meski gabung di 3 organisasi yang sama, gak pernah ada moment saya dan beliau
kerja bareng secara langsung. Gak ada sms, pesan pribadi, atau apapun itu untuk
koordinasi tentang kerjaan. Karena kami memang ada di bidang yang berbeda.
Ketemu pun hanya saat rapat besar, itu pun gak pernah saling sapa atau ngapain
gitu… (Emang mau ngapain? ;p)
Awalnya agak ragu mau proses apa engga. Dilemaaaa banget.
Bukan apa-apa, he was
a stranger to me.
Tapi untungnya, A Irfan, kakak pertama saya kenal beliau
saat kuliah S3 di IIUM ini. A Irfan bilang, “Insya Allah Hambari adalah orang
yang baik dan agamanya pun baik.” Kata A Irfan lagi, “Bismillah dicoba aja dulu
Qorry, toh kan melakukan proses taaruf bukan berarti udah pasti sampe ke
pernikahan.”
Iya juga ya… Dipikir-pikir, justru lewat taaruf inilah dari
gak kenal menjadi kenal, sehingga bisa mengira-ngira apakah akan lanjut ke
tahap selanjutnya atau cukup sampai di sini saja… *tsah… :p
Oke… Karena ada rekomendasi dari kakak sendiri (Suami, you owe a lot to my brother ;P),
bismillah aja dicoba. Umur saya juga udah 25 tahun, sepertinya udah waktunya
menikah. Kalau ga dimulai prosesnya, gimana mau menikah? Doa udah pasti. Tapi
doa harus diaktulisasikan lewat ikhtiar, dan taaruf ini salah satu jalan
ikhtiar. “Baik ka, insya Allah aku siap
jalani proses taaruf ini.” kata saya akhirnya kepada guru ngaji saya.
Kenapa harus lewat
Taaruf?
Ada satu doa yang selalu saya panjatkan sejak tahun 2012, “Ya Allah… Tolong tumbuhkan perasaan cinta
dalam hatiku kepada seseorang yang halal buatku. Tolong tumbuhkan perasaan
cinta dalam hatiku, yang membuat-Mu tidak cemburu. Dan tolong tumbuhkan
perasaan cinta dalam hatiku yang terlandaskan oleh cintaku kepada-Mu.”
Saya gak bilang taaruf adalah jalan yang terbaik, karena
setiap orang punya jalannya masing-masing untuk bertemu jodoh mereka. Tapi
menurut saya pribadi, sepertinya berproses lewat cara seperti ini akan lebih
menjaga hati dan pikiran saya. Sedari awal saya tetapkan bahwa tujuan saya
menikah salah satunya adalah untuk ibadah dan dapatkan ridho Allah. Saya
menginginkan proses menuju gerbang pernikahan pun adalah cara yang benar-benar
Allah sukai. Gak bikin Dia cemburu.
Gimana mau dapat ridho-Nya kalau dari awal aja udah bikin Dia cemburu. Iya kan?
Jadi, adegan butterfly
effect inside my tummy, atau kumbang terbang di dalam hati bisa dieliminasi.
Atau… adegan (maaf) pegang-pegangan tangan, atau bahkan lebih dari itu (naudzubillah himindzalik) bisa
dihindari. Atau adegan patah hati karena salah satu pergi bisa diminimalisir.
Percayalah, saya bukan manusia yang sempurna.
Justru karena ketidaksempurnaan saya inilah menyampaikan
saya pada tahap bagaimana saya memandang hubungan perempuan dan laki-laki yang
ideal itu seperti apa.
Saya belajar. Saya introspeksi. Saya evaluasi diri. Atas
segala kesalahan, kekurangan, dan kealpaan diri saya sebelumnya.
Dari usia saya remaja, saya selalu punya keinginan.
Saya ingin kelak tangan laki-laki pertama (selain Ayah dan
keluarga tentunya :p) yang saya cium adalah tangan suami saya.
Saya ingin kelak laki-laki yang menggenggam tangan saya atau
mengecup kening saya yang pertama kali adalah suami saya.
Saya ingin laki-laki yang menghapus air mata yang jatuh di
pipi saya pertama kali adalah suami saya.
Saya ingin saya adalah wanita pertama baginya, dan dia
adalah laki-laki pertama bagi saya.
Saya ingin menjaga itu semua.
Menjaga kesucian cinta.
Maka, proses taaruf inilah yang saya rasakan aman. Karena
selalu ada pihak ketiga yang memantau. Bismillah… Proses ini pun kami jalani…
Bertukar CV
“CV? Emangnya mau lamaran kerja?”
Hampir semua orang punya pertanyaan tersebut. Termasuk kamu
kan? Hehehehe…
Jawabnya, “Iya… Kan menikah itu bekerja seumur hidup.”
#eeeaaaaaa :D
Jadi, tahapan pertama adalah kami bertukar CV. Tapi, CV
bukan sembarang CV.
CV ini terdiri dari beberapa bagian. Pertama, biodata diri. Nah ini isinya hal-hal dasar dalam diri
kita, kaya nama lengkap, alamat, golongan darah, riwayat pendidikan, pengalaman
organisasi, sampai pengalaman kerja. Makanan favorit dan minuman favorit juga
boleh dicantumin kok (hehehe jadi inget pas SD).
Kedua, data
keluarga. Nama ayah, ibu, saudara kandung, saudara ipar, dan keponakan kalau
ada. Hehehe… Saya cantumin nama Atqiya, Aufa, dan Amira juga soalnya :D
Sekaligus pekerjaan keluarga hingga riwayat pendidikan mereka secara umum. Ini
penting, karena pernikahan bukan sekedar menyatukan dua insan saja, tapi juga
menyatukan dua keluarga.
Ketiga, riwayat
kesehatan. Nah… Ini juga penting banget. Harus diisi dengan sejujurnya. Pernah
sakit apa, tahun berapa. Karena kita inginnya pasangan kita adalah orang yang sehat
secara lahir dan batin. Lalu kalau mau ditambah riwayat kesehatan orang tua
kita juga boleh. Jadi kita tau kira-kira penyakit turunan yang mungkin akan
dibawa.
Keempat, kelebihan
dan kekurangan diri kita, menurut diri kita sendiri. Misalnya kita punya sifat
manja, cengeng, cepet nangis, atau sangat sensitif *duh kesindir! Hehehe..
Ungkapkan apa adanya bagaimana kita menilai diri kita sendiri. Karena, calon
pasangan kita ingin tau gambaran diri kita. Apalagi kalau kasusnya gak saling
kenal. Kalau temen saya, bahkan dia mencantumkan pula gambaran dirinya menurut
orang lain. Katanya biar calon pasangan dapat gambaran yang lebih objektif. Bisa
juga idenya :)
Kelima, dan ini
yang paling penting, tentang pernikahan
itu sendiri. Cantumkan kriteria pasangan yang kita dambakan seperti apa. Tujuan
menikah kita itu apa. Visi dan misi kita menikah itu bagaimana. Ini bisa jadi
pertimbangan gambaran kelak rumah tangga akan dibawa kemana. Dari pemaparan seseorang
tetang pernikahan, sedikit banyak kita akan mengetahui apa yang jadi dasar dia
dalam berpikir dan bertindak.
Terakhir, daftar
referensi beserta email dan nomor hape. Maksudnya adalah orang-orang yang
dipercaya, yang bisa memberikan penilaian objektif tentang diri kita, jika
calon pasangan ingin menanyakan lebih jauh tentang diri kita. Misalnya di list
suami, beliau mencantumkan nama beberapa orang sabahatnya, sebagian saya kenal,
sebagian lagi tidak.
Jadi… Yang bilang proses taaruf ibarat membeli kucing dalam
karung sekarang bisa melihat kan? Justru proses perkenalan seperti ini
menampilkan diri kita apa adanya. Gak boleh ada fake atau dusta. Harus jujur. Jujur
apa adanya.
Lalu bagi yang ingin menikah, ini pun dapat dijadikan
referensi. Sudahkan persiapkan CV pernikahannya? Siapkanlah… Insya Allah dengan
menyiapkan CV pernikahan, merupakan salah satu bentuk aplikasi praktek dari niat
kita.
Oke… Back to my story,
sekitar awal bulan Maret, kami pun bertukar CV via guru ngaji kami
masing-masing. Saya melihat proposal pernikahan beliau, dan beliau pun melihat
proposal yang saya buat. Kalau saya, begitu saya mendapatkan CV beliau, saya
langsung forward ke Mamah, Papah, dan
Kakak-kakak saya. Saya ingin mereka terlibat dalam proses yang saya jalani ini.
Ya iyalah… They are my significant people
in my life. Their comments do matter to me. Bisa jadi bahan pertimbangan
saya dalam memberikan keputusan. Bisa jadi bahan penilaian kami dalam
bermusyawarah. Kan yang sedang taaruf ini akan menjadi calon keluarga mereka.
Intinya, peran keluarga amat penting dalam proses taaruf ini. Jangan
ditutup-tutupi atau disembunyikan. Catet ya, ini penting banget.
Dari bertukar CV, kami diberi waktu sekitar satu minggu
untuk memutuskan apakah proses ini akan dilanjutkan ke tahap taaruf bertemu
atau tidak. This is crucial. Makanya,
saya libatkan keluarga di Bogor untuk ikut mengistikharahkan dan
memusyawarahkannya. I let everyone in my
family to ask Allah’s guidance. I want to attract His bless by attracting my
family’s interests and tendencies. If they feel comfortable, I will continue
the process. Otherwise, I will just say bye-bye to the guy. Hihi…
Akhirnya… Setelah istikharah tiada henti dan musyawarah
dengan keluarga, saya pun memutuskan untuk melanjutkan dari tahap pertukaran CV
ke tahap selanjutnya: Pertemuan langsung. Duh!
Penasaran ga denger kisah selanjutnya?
Tungguin cerita saya di bagian selanjutnya… Sengaja ah
dibikin penasaran.. Hehehehe…
*padahal mah cape nulis
*to be continued
No comments:
Post a Comment