Tuesday 14 February 2017

Perbedaan Pendapat

Buat saya, adanya perbedaan pendapat, opini, pemikiran dan segala hal itu wajar aja. Namanya hidup pasti ada perbedaan. Kalau istilah kerennya sih "sunatullah fill hayyah" alias ketetapan yang udah pasti dari Allah..

Cuma kita dibekali akal pikiran serta hati oleh Allah untuk memilah dan memilih berada di posisi manakah kita. Biar kita bisa menentukan posisi yang benar, maka rumusnya adalah cari ilmu, rendahkan hati, kosongkan wadah ilmu, hilangkan prasangka, dan niatkan karena Allah agar kita bisa menjadi objektif di dalam menentukan pilihan itu. Juga tentunya kita berharap bahwa apa yang kita pilih merupakan apa yang Allah ridhai.

Yang saya sesalkan (juga kadang kepikiran) adalah pihak-pihak yang menjunjung "toleransi", justru menjadi yang paling provokatif di dalam menerima perbedaan itu. Okelah nyinyir-nyinyir standar mah masih biasa.. Tapi, nyinyir kasar terhadap orang-orang yang bersebrangan dengan pilihannya itulah yang saya merasa sedih. Kalimat "otaknya ga nyampe apa.." atau "lo kaya orang ga disekolahin aja.." atau kalimat-kalimat yang ya Allah saya aja sampe bergidik bacanya. Literally bergidik. Sampai ga tega untuk baca lagi apalagi nulisnya. Andaikan kalimat itu sampai kepada penyampai sendiri, apa yang dia akan rasakan? Doesn't she/he think that what goes around comes back around? Bahwa apa yang kita tanam akan kita tuai di kemudian hari? Hiks sediih saya mah :"( Semoga kita semua terjaga dan bisa menahan diri untuk tidak berkata-kata yang menyakitkan ya :") Ya Rab.. kuatkan kami..

Ada beberapa hal yang saya set sebagai rules saya di dalam berpendapat, terutama di ruang publik termasuk Social Media (FB, Path, IG, blog, WA group, dan lain sebagainya)..

Pertama, saya berusaha "berpendapat" bukan untuk "berdebat". Jika saya merasa yakin akan pilihan saya, saya gak akan mau beradu argumen dengan orang yang beda pendapat dengan saya. Karena apa? Karena saya tau saya akan "keukeuh" dengan pendapat saya, dan saya tau orang yang berbeda pendapat dengan saya pun sudah yakin akan pilihannya. Akhirnya yang terjadi adalah balas-balasan komentar yang pasti tiada hujungnya, dan mengundang pihak lain untuk nimbrung yang akan memperunyam masalah. Trust me, this is going to be exhausting. Energi akan terkuras. Pikiran malah akan didominasi dengan emosi. I choose to avoid such things. I once did a debate in twitter with a person I don't want to mention, and it felt not good after the "battle". Seriously. Too much energy I spent, emotionally.

Kedua, jika saya ingin bertanya atau mengklarifikasi, saya lebih prefer untuk melakukan hal tersebut secara japri baik itu via Whatsapp atau aplikasi chatting lainnya *gratisan 😂 atau telpon atau bahkan ketemu langsung..
Jadi, misalnya saat ada kasus uang Rupiah yang heboh dibicarakan, saya langsung nanya ke temen saya yang kerja di BI, apa sih sebenarnya yang terjadi? Tabayyun langsung via Wa dan alhamdulillah saya mendapat penjelasannya. Makanya kemarin saat ada yang menanyakan tentang sebuah "isu sensitif" yang memancing pro dan kontra di socmed, tidak saya jawab, bukannya tidak mau, tapi saya hanya ingin menghindari debat. Karena kalau saya jawab, kemungkinannya adalah:
Saya komen, kemudian dibalas, kemudian ada orang nimbrung yang memperumit diskusi -> saya pening -> saya malah jadi ga produktif dengan hal-hal real di dunia nyata.. *apakabar olah data disertasi??? Hheehe.. because I know.. no one will accept each argument because we already know at what side we stand.
Kalau memang ingin bertanya, benar-benar bertanya (bukan beretorika ya), pasti sang penanya akan japri saya baik via WA, email, atau media lain. Jadi mohon maaf lahir batin ya kalau ada komentar yang tidak saya jawab di social media :") Let us respect each other's choice :")

Ketiga, saya akan berusaha menghindari sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak baik dan tidak sesuai dengan norma sopan santun apalagi norma agama. Karena apa? Once you post it on the internet, it will be there forever. Someday kalau saya nyesel, ya gimana udah terlanjur tersebar. It is there already. It really is. Kalau ada yang mengikuti kata-kata buruk saya, itu akan menjadi dosa jariyyah saya, sebanyak dosa orang-orang yang mengamalkannya karena inspirasi dari saya :"( Naudzubillah.. Malu sama Allah.. kalau ditanya tentang pertanggungjawaban saya atas posting saya di internet di akhirat kelak, saya harus jawab apa? 
*Qorr.. masih muda keleus. Ngomongin akhirat aja lo ah ga asik. Eitss.. ga mesti tua dulu buat mati, karena banyak yang muda juga mati. Ga mesti sakit dulu buat mati, karena banyak yang sehat tiba-tiba mati. Death is coming whether we realize it or not. And it is the most certain thing to happend among those uncertainties in our life.

Pun suatu hari jika Afifa dan adik-adiknya plus anaknya Afifa, cucunya Afifa dan segala keturunannya akan baca apa yang saya posting dan itu adalah hal buruk, lalu dimana posisi keteladanan baik dari saya yang menjadi unsur krusial di dalam pendidikan? Hiks.. kasian Afifa jika suatu saat ia harus membaca kalimat buruk yang saya ucapkan. Ucapan adalah doa. Ucapan adalah representasi apa yang kita pikirkan. Ucapan adalah alat penghubung kita sebagai makhluk sosial. Bahkan ucapanlah yang membuat seseorang masuk Islam kan? Words might not tell us everything but it shows us something. Something deep. 

Keempat, I will tolerate with the different opinions I face. But once they disrespect my religion and my family (especially my parents), I will definitely sign out our friendship at socmed. Serius ini. Bukaan... bukan untuk memutus silaturahim ya :") tapi saya ingin memfilter apa yang saya baca aja biar pikiran dan hati saya lebih terjaga. Simpel aja. Kalau udah jelekin agama saya dan keluarga saya, ya udah kita ga cocok temenan di socmed. Tapi bukan berarti kita berhenti temenan di dunia nyata ya.. InsyaAllah saya akan tetep doain temen-temen yang seperti itu dengan ikhlas. Serius :")

Sekian notes ini saya buat. Semoga bermanfaat. Kalau engga bermanfaat, semoga Allah mengampuni dosa atas kesia-siaan yang saya lakukan. Aamiin :")



1 comment: