Assalamualaikum
sahabat…
Ramadhan
udah lewat setengah jalan. Whuaa saya sadar dengan list target saya, beberapa
masih melenceng, gak sesuai target :’( *nangis di pojokan*
Bismillah..
Semoga masih ada kesempatan untuk mengejar di sisa waktu yang ada. Dan semoga
masih ada umur ya untuk menikmati Ramadhan hingga akhir.
Oia…
Kabar saya sedikit kurang baik. *meski ga ada yang nanya* :p
Sudah
beberapa hari ini saya bedrest karena sakit tipes.
Sebenarnya
memang kondisi saya udah sakit sejak saya pulang ke Bogor tanggal 25 Juli
kemarin, tapi gak dirasa aja. Cuma setelah seminggu, perut kerasa sakit banget
dan demam naik turun, ya udah deh saya ke dokter. Di dokter, saya diminta untuk
tes darah, dan ternyata setelah hasilnya keluar saya positif tipes dan harus bedrest
total di rumah.
Pada
mulanya, saya diminta dokter untuk dirawat di rumah sakit. Dokternya bilang,
“Saya khawatir gak ada makanan yang masuk ke tubuh kamu.” Lalu saya bilang,
“Dokter, Alhamdulillah perasaan saya mah nafsu-nafsu aja makan pas buka shaum.
Hehehe…” Eh si dokternya malah ketawa. Setelah dinego, akhirnya saya
diperbolehkan untuk istirahat di rumah saja, dengan syarat harus istirahat, gak
keluar rumah, dan tetap makan. Oke deh Dokter, I love you… :D
Eh
tapi saya tetap shaum lho. Karena obat antibiotic-nya diminum hanya 2x satu
hari, jadinya bisa dimakan saat sahur dan buka shaum, Alhamdulillah saya tetap
merasa kuat meski kondisinya gak 100% on. Hehehe… Oia.. Saat tulisan ini
dibuat, saya sudah 4 hari bedrest.
Semoga
sakitnya saya ini menjadi penggugur dosa-dosa saya ya. Amin…
Jadi
inget, terlalu banyak dosa dan kesalahan yang saya lakukan hingga saat ini.
Semoga Allah mengampuni dan memaafkan saya ya… :’( Mungkin inilah salah satu
hikmah sakit, memberikan kesempatan kita untuk terus bermuhasabah dan terus
mengevaluasi diri kita.
“Tidaklah seorang Muslim menderita kelelahan, sakit, kesusahan, dan
kesedihan, gangguan, dan kegelapan hati bahkan terkena duri (sekalipun),
melainkan semua kejadian itu, merupakan penebus bagi dosa-dosanya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Jadi
ingat, tahun 2009 saat Ayah saya terkena serangan jantung yang mengharuskan
beliau untuk operasi bypass. Tahun 2009 tersebut dirasakan cukup berat bagi
keluarga kami, karena selain ayah sakit, saat itu pun Nenek dari ibu saya sakit
selama berbulan-bulan dan pada akhirnya dipanggil Allah SWT untuk
selama-lamanya. Ya… Di tahun 2009 tersebut, mungkin cukup penuh dengan air
mata.
Tapi…
Yang saya pelajari dari pengalaman sakitnya Ayah saya, beliau selalu dapat
mengambil hikmah di balik ujian tersebut. Hingga pada saat beliau pulih dan
sembuh, beliau menulis sebuah buku tentang pengalaman beliau selama beliau
sakit. Buku tersebut berjudul “Sakit
Membawa Nikmat: Renungan dan Hikmah di Balik Ujian Sakit” yang diterbitkan
oleh Gema Insani Pers tahun 2010. Boleh lho dibeli kalau nemu bukunya di toko
buku… :D Hehehe… *sekalian promosi*
Di
buku tersebut, ditulis beberapa hikmah yang beliau dan keluarga kami rasakan
saat Allah memberikan sakit kepada beliau. Saya akan share sebagian ya untuk
kita jadikan pelajaran, semoga kita bisa menyikapi segala sesuatu dengan sikap
dan pikiran yang positif :)
Sakit merupakan salah satu ujian keimanan
agar kita sabar dan ikhlas.
“Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala
orang yang berbuat kebaikan.” (Huud: 115)
Ya…
Sakit merupakan salah satu ujian bagi keimanan seseorang. Apakah dengan sakit
itu kita semakin mendekatkan diri kita pada Allah atau apakah kita dapat
menyikapinya dengan kesabaran dan keikhlasan? Ya… Sesungguhnya ujian tersebut
tidak lain adalah untuk mendidik kita agar bisa lebih kuat dan bisa bersikap
sabar serta ikhlas :)
Sakit adalah salah satu bukti cinta Allah
kepada hamba-Nya.
Cinta
dari Allah-lah yang benar-benar kami rasakan saat Ayah sakit tahun 2009 yang
lalu. Saat itu kami benar-benar
merasakan nikmatnya berdoa, memohon, dan meminta kepada Allah, agar Allah
berikan kesembuhan bagi Ayah dan agar Allah senantiasa memberikan kekuatan bagi
kami. Saat itu, yang saya pribadi
rasakan, antara sesama anggota keluarga saling menguatkan, saling
mendoakan, dan saling support, terutama untuk proses penyembuhan Ayah. Sikap
saling mendukung tersebut tentu saja gak akan pernah ada tanpa cinta dari Allah
kan? Karena cinta-Nya kami kuat, karena cinta-Nya kami bisa tetap tersenyum,
dan karena cinta-Nya kami tetap optimis menghadapi segalanya.
“Apabila Allah mencintai (mengasihi) hamba-Nya, maka Ia akan mengujinya
untuk mendengar rintihannya.” (HR. al-Baihaqi dari Abu Hurairah)
Ketika sehat harus bersyukur, ketika sakit
harus bersabar.
Apapun
kondisi yang dialami oleh kita, baik senang maupun susah, sehat maupun sakit,
atau lapang maupun sempit, kita seharusnya menyikapinya dengan dua hal yaitu
syukur dan sabar. Syukur membuat Allah terus menambah nikmat-Nya kepada kita,
sedangkan sabar akan akan menguatkan kita serta membuahkan pahala kebaikan bagi
kita. Ya… Semuanya kembali kepada “how we
react towards things happen in our life.”
Karena apapun situasinya, bagi seorang yang beriman ujungnya pasti
kebaikan. Pasti. Dengan syarat, sikap syukur dan sabar selalu menjadi pakaian
kita.
“Sungguh sangat mengagumkan urusan orang yang beriman; sesungguhnya
setiap urusannya itu akan bernilai kebaikan, dan semuanya itu tidak
diperuntukkan kecuali hanya bagi orang mukmin saja. Jika kesenangan itu menimpa
kepadanya, maka dia bersyukur, maka hal itu merupakan kebaikan buatnya; dan
jika kesengsaraan itu menimpanya, maka dia bersabar, dan hal itu juga merupakan
kebaikan baginya.” (HR. Ahmad)
Pengalaman
sakit yang dialami ayah beberapa tahun lalu memberikan pelajaran untuk kami
agar senantiasa untuk selalu bersyukur dan bersabar. Saat Allah berikan sakit,
maka sikap sabarlah yang menguatkan kami. Sabar di sini tentunya tidak lepas
dari segala ikhtiar kita untuk sembuh lho ya, baik itu usaha untuk berobat, juga
berdoa minta kesembuhan kepada Allah. Bukannya hanya diam saja tanpa berbuat
apapun. Karena sabar sesungguhnya adalah terus berikhtiar dan menyerahkan
segala urusannya kepada Allah :)
“Ingatlah, setiap penyakit pasti ada
obatnya. Karena itu (jika kalian sakit), berobatlah kalian. Tetapi janganlah
berobat dengan barang yang haram.” (HR. an-Nasa’i)
Nikmat ukhuwah
Islamiyyah.
Nah,
nikmatnya sebuah persaudaraan dalam Islam benar-benar kami rasakan saat itu.
Betapa banyak orang yang menjenguk Ayah saat beliau sakit, sampai-sampai pihak
rumah sakit harus dengan “tega” membatasi para penjenguk. Dari mereka yang
menjenguk yaitu keluarga, kerabat, dan jamaah pengajian ayah, saya sadar bahwa
begitu banyak orang yang mencintai Ayah saya. Dari wajah mereka terpancar
keikhlasan dan kepedulian mereka. Tak jarang mereka menangis saat menjenguk
ayah, seolah-olah ikut merasakan rasa sakit yang sama. Doa-doa pun senantiasa
mereka panjatkan demi kesehatan Ayah. Hubungan yang terjadi di antara mereka
dengan ayah tidak mungkin ada tanpa disatukan oleh “Ar-Rahman” dan “Ar-Rahim”. Dialah
yang menumbuhkan ukhuwah di antara kami. Alhamdulillah :’) Dukungan moril
hingga materil pun datang pada saat itu. Subhanallah…
“Engkau akan melihat orang-orang yang beriman dalam kasih sayang
mereka, dalam kecintaan mereka dan dalam keakraban mereka antara sesamanya
adalah bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggotanya merasakan sakit, maka
sakitnya itu akan merembet ke seluruh tubuhnya, sehingga (semua anggota
tubuhnya) merasa sakit dan merasa demam (karenanya).” (HR. Bukhari)
Begitulah
pengalaman tiga tahun yang lalu yang kami alami. Saya berdoa semoga saya dan
keluarga tetap diberikan kesehatan oleh Allah SWT serta dapat menjadi pribadi
yang selalu mampu untuk bersyukur dan bersabar. Bagaimana pun, dengan nikmat
sehat, kita dapat lebih mengoptimalkan kebaikan yang dapat kita lakukan. Semoga
Ayah pun sehat selalu dan dapat menjalankan segala amanah yang beliau emban
saat ini dengan sebaik-baiknya. Amin…
Sekian
tulisan dari saya untuk saat ini. Panjang ya… Hehehe…. Terima kasih ya sudah
mau baca… Tetap semangat!! :)