Dari kecil, saya selalu ingat salah satu kebiasaan Papah yang tidak
pernah beliau tinggalkan adalah selalu memberikan kabar jika beliau bepergian,
ke mana pun. Biasanya beliau bepergian untuk mengisi ceramah ataupun kegiatan lainnya.
Saat saya masih kecil, teknologi belumlah secanggih sekarang.
Handphone masih sangat jarang, dan kalaupun ada sebesar ikan mas 1 kilo.
Ehehehe.. Jadi dulu komunikasi dilakukan via telepon. Socmed pun belum heboh seperti sekarang.
Setiap kali Papah sampai di tempat tujuannya, hal yang pertama kali
dia lakukan adalah mencari telepon, bisa di hotel, wartel (warung telepon, ini
dulu ngehip banget deh :D), atau bahkan telepon umum (yang pake koin atau
kartu).
“Kring… Kring…” telepon rumah pun berbunyi.
Biasanya Mamah atau kakak yang angkat telepon. Papah pun mengabari
kalau Papah sudah sampai. Beliau pun menanyakan tentang aktivitas yang sedang
kami lakukan. Lucunya, setiap anak pasti kebagian jatah telepon. Misalnya Mamah
yang pertama kali jawab telepon. Kemudian mereka mengobrol sebentar. Lalu
telepon beralih ke kakak pertama, A Irfan, lalu ke A Iman, A Imad, Teh Okty, dan
kemudian saya yang paling bungsu.
“Dede lagi apa? Udah makan belum? Ini papah udah sampe. Gimana tadi
di sekolah?” pertanyaan-pertanyaan ringan seperti itulah yang beliau tanyakan.
Pun kepada para kakak.
Ketika zaman sudah mulai berubah, ketika handphone sudah seperti “a must thing to have”, komunikasi dalam
keluarga pun semakin intens. Saya ingat, pertama kali punya handphone kelas 2
SMP. Awalnya ngerasa gaya, tapi ternyata justru alat tersebut dijadikan Papah
dan Mamah sebagai “pengontrol” keadaan kami semua.
Kalau maghrib belum sampai rumah (dari SMP hingga kuliah), pasti
ditelpon, dipastikan pulangnya dengan siapa. Dan pada akhirnya lebih sering
Papah, Mamah, atau kakak yang jemput.
Saat Papah bepergian ke luar negeri pun, pasti beliau selalu
memberikan kabar kepada kami. Isi sms pun sama, tapi dikirim ke semua anggota
keluarga (bahkan saat kami sudah memiliki pasangan suami atau istri, para
mantunya pun diberikan kabar).
Misalnya, “Alhamdulillah Papah sudah sampai di Qatar, di sini dijamu
dengan fasilitas nomor satu. Alhamdulillah…”
*Tring… Sms pun dikirim ke semua orang. Meski kadangan kami semua para
anaknya sedang berada di dalam ruangan yang sama. “Tuh pasti dari papah,
soalnya semua handphone bunyi.” Kata A Imad. Dan kami semua pun tertawa :D Akhirnya
biaya bulanan telepon Papah pasti membengkak karena tidak jarang beliau
bepergian ke luar negeri dan masih tetap menggunakan provider dalam negeri.
Meskipun saya sekarang di Kuala Lumpur bersama suami saya. Hampir
setiap hari, kami pun ditanyai kabar, lalu diberikan kabar dari beliau.
Misalnya baru saja tadi pagi beliau sms kepada saya, “De… coba lihat twit Papah
pagi ini. Bagus ga?” :D
Dan kami selalu bahagia mendapatkan perhatian dan kabar rutin
seperti itu dari Papah dan juga Mamah. Bagi kami, sms-sms tersebut adalah hal
yang justru menjadi salah satu alasan kami untuk tersenyum, dan bahkan dapat
men-charge up semangat kami ;D
Dari situ saya belajar bahwa komunikasi merupakan bagian penting
dalam sebuah keluarga. Tanpa adanya komunikasi yang baik rasanya mustahil semua
pihak dalam keluarga akan merasa nyaman.
Sikap Papah yang selalu mengabari dan menanyakan kabar para anaknya
dari kami kecil hingga seusia ini pun mencerminkan bahwa sampai kapanpun orang
tua akan terus memperhatikan anaknya. Sikap
beliau membuat kami merasa diperhatikan, diawasi, dan terlebih, dicintai.
Bahwa kami adalah orang pertama yang beliau anggap paling penting untuk
diberikan kabar. Bahwa kami adalah orang yang sangat ditunggu cerita dan
kabarnya.
Dari teknologi telekomunikasi yang belum canggih, hingga saat ini,
saya rasa esensi sikap Papah yang selalu mengabari dan menanyakan kabar menyimpan
berjuta pelajaran. Pelajaran yang amat berharga. Contoh yang sangat nyata.
Alhamdulillah…
Dari beliau saya belajar.
Dari beliau saya menjadi tau.
Bahwa menjaga komunikasi dalam keluarga amatlah penting.
Bahwa dari sikap menjaga komunikasi, akan timbul rasa percaya, akan
timbul rasa tanggung jawab, dan akan timbul rasa cinta.
Sekarang, yang saya dan suami lakukan pun seperti itu.
Kami selalu membiasakan saling memberikan kabar. Sebelum berangkat,
kami akan saling tau apa agenda kami pada hari itu. Kalau suami sudah sampai
sekolah, pasti beliau mengabari. Kalau saya berangkat ke kampus dan sudah
sampai kampus pun saya pasti mengabari. Suami pun sering sekali menelepon saya
di sela-sela waktu kosongnya, hanya untuk menanyakan, “Sayang lagi apa? Udah
makan belum? Hati-hati ya. Kalau ada apa-apa kabari ya.” Jujur hal tersebut
akan membuat kami saling terbuka dan saling percaya. Dari rasa “saling”
tersebut akan timbul kesadaran untuk menjaga sikap kami. Bahwa saya sudah
bersuami, dan bahwa beliau beristri.
Pun kami selalu menjadwalkan untuk menelepon keluarga di tanah air
minimal satu minggu dua kali. Memberikan kabar kami kepada keluarga, dan in
return, kami pun mengetahui kabar mereka..
Semoga bermanfaat.