Wednesday, 4 January 2012

Tulisan Lama Saat S1

MENGUBAH PARADIGMA KONVENSIONAL

*Oleh : Qurroh ‘Ayuniyyah*
               
Krisis global yang terjadi di dunia saat ini semakin membuka kesempatan bagi sistem ekonomi syariah untuk semakin berkembang. Kejadian mahadahsyat yang diawali oleh krisis subprime mortgage di negara adidaya membuktikan bahwa terdapat sesuatu yang salah dengan sistem ekonomi konvensional yang dianut oleh sebagian besar negara di dunia ini.

Salah satu hal krusial yang membedakan antara sistem ekonomi syariah dengan sistem ekonomi konvensonal adalah eksistensi suku bunga (interest rate), dimana instrumen ini merupakan nyawa bagi sistem moneter konvensional. Bertolak belakang dengan hal tersebut, Islam melarang sistem bunga karena hal tersebut termasuk dalam kategori riba yang secara eksplisit diterangkan oleh beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Riba merupakan setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan sebelumnya.

Terdapat empat buah tahapan pelarangan riba. Tahap pertama, Q.S. Ar-Rum ayat 39. Pada ayat ini Allah SWT membandingkan antara riba dengan zakat. Riba yang seolah-olah bertambah di mata manusia sesungguhnya berkurang di mata Allah. Sebaliknya, zakat yang seolah-olah mengurangi harta manusia, justru bertambah di mata Allah. Tahap kedua, Q.S. An-Nisa ayat 161. Pada fase ini Allah menggambarkan  azab pedih yang diterima oleh bangsa Yahudi yang memakan harta riba. Tahap ketiga, Q.S. Al-Imran ayat 130 yang menyatakan pelarangan memakan harta riba secara berlipat ganda. Tahap keempat, Q.S. Al Baqarah ayat 275-279. Ayat ini melarang secara tegas bentuk praktek riba, berapapun presentasinya besar maupun kecil, serta menghalalkan jual beli.

Tentunya, dalam setiap larangan yang Allah SWT turunkan pasti memiliki berbagai hikmah kebaikan bagi ummat manusia itu sendiri.  Fakta membuktikan bahwa suku bunga justru memiliki korelasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Semakin rendah tingkat suku bunga, justru akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, begitu pun sebaliknya, ketika suku bunga tinggi, maka pertumbuhan ekonomi pun akan mengalami kemunduran. Jika demikian, mengapa harus digunakan instrumen yang jelas-jelas kontra terhadap pertumbuhan ekonomi?

Selanjutnya, fakta menarik pun terlihat pada tabel  di bawah ini. Ternyata, Indonesia mengalami defisit anggaran pemerintah yang luar biasa besar akibat adanya sistem suku bunga yang diterapkan dalam sistem perekonomian nasional maupun internasional. Jika saja negara ini tidak menerapakan sistem bunga, maka Indonesia justru malah akan mengalami surplus anggaran hingga mencapai 43.676 milyar rupiah pada tahun 2005. Bisa kita bayangkan andaikan saja dana tersebut dapat dialirkan kepada pada fasilitas pelayanan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, gizi, hingga infrastruktur, niscaya kesejahteraan rakyat yang selama ini menjadi impian bangsa Indonesia tidak mustahil untuk dicapai.

Tabel Dampak Negatif Sistem Bunga terhadap Perekonomian Nasional
No
Keterangan
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
1
Pelunasan SBI *
937.212
974.669
988.259
1.197.376
1.197.052
1095.922
2
Posisi SBI*
59.781
55.460
77.113
105.402
102.732
69.412*
3
Pembayaran bunga*
50.068
87.142
87.667
65.350
63.227
57.651
Utang dalam negeri*
31.238
58.197
25.406
46.356
39.227
43.496

Utang luar negeri*
18.830
28.945
62.261
18.994
23.413
14.155
4
Subsidi BBM*
53.810
68.381
43.628
43.885
85.475
120.708
5
Defisit Anggaran*
(16.132)
(40.485)
(23.574)
(35.109)
(26.272)
(13.975)
6
Surplus apabila tidak ada bunga*
33.936
46.657
64.093
30.241
36.955
43.676

Sumber : Nafik dalam Hafidhuddin (2008)

Jika kita melihat fenomena tersebut, maka dalam sudut pandang manapun, sistem ekonomi berbasiskan suku bunga tidak akan menguntungkan perekonomian sebuah negara, terutama Indonesia sebagai negara berkembang. Sudah saatnya kita mengubah paradigma berpikir bahwa sistem suku bunga dapat memberikan manfaat bagi perekonomian negara kita. Ekonomi syariahlah jawaban dari kekacauan perekonomian negara ini. Jadilah pemain aktif bagi perkembangan ekonomi syariah di negara kita. Karena bukankah Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga kaum itu sendiri yang mengubahnya?
Wallahu’alam bi ashsawab.